Berita MA Perkuat Haris-Fatia Bebas, Pengacara Singgung Peran Luhut di Papua

by


Jakarta, Pahami.id

Tim Advokasi Demokrasi (TAUD) sebagai penasehat hukum Haris Azhar dan Fatiah Maulidiyanty menjadi hakim Mahkamah Agung (MA) telah menjaga martabat kebebasan sipil.

Hal ini disampaikan TAUD sebagai tanggapan atas putusan kasasi MA yang membebaskan Haris dan Fatia.

“Melalui putusan ini, kami menilai Mahkamah Agung turut menjaga semangat kebebasan sipil dengan menjamin dan menegaskan bahwa masyarakat mempunyai hak untuk mengkritik pejabat publik tanpa harus khawatir akan dihukum,” kata anggota TAUD Asfinawati dalam keterangan tertulisnya. , Rabu (25/9).


Asfin menilai putusan kasasi tersebut juga menunjukkan pentingnya perlindungan hukum bagi aktivis lingkungan hidup yang dikenal dengan konsep Gugatan Anti Strategis Terhadap Partisipasi Masyarakat (SLAPP).

Tak hanya itu, keputusan tersebut juga memberikan harapan bagi masyarakat yang terus memperjuangkan isu kemanusiaan dan lingkungan hidup, khususnya di Papua.


Merujuk pada peran Luhut

Asfin juga menyinggung putusan tahap pertama dimana majelis hakim mengakui beberapa hal yang terungkap dan menjadi fakta persidangan, seperti adanya konflik kepentingan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan terkait praktik pertambangan di Papua.

Fakta itu terlihat dari penjajakan bisnis anak usaha Luhut, PT Tobacom Del Mandiri bersama PT Madinah Qurrota Ain dan West Wits Mining.

Dalam persidangan, Luhut terbukti sebagai pemilik manfaat (BO), karena setiap tahun menerima laporan keuangan perusahaan, sehingga tidak mungkin tidak mengetahui atau menyetujui penjajakan bisnis di Papua.

Atas hal tersebut di atas, kami menilai terdapat dugaan pelanggaran hukum terkait aktivitas pertambangan di Papua yang dilakukan oleh Luhut Binsar Pandjaitan dan jaringannya, kata Asfin.

Ia pun meminta aparat penegak hukum segera melakukan serangkaian penyelidikan dan penyidikan atas dugaan pelanggaran hukum tersebut. Lebih lanjut, kata Asfin, putusan kasasi harus menjadi acuan aparat penegak hukum untuk memulai pengusutan konflik kepentingan Luhut.

Selain itu, pemerintah juga perlu serius menindaklanjuti temuan dan rekomendasi berdasarkan kajian singkat bertajuk “Ekonomi dan Politik Penempatan Militer, Studi Kasus Intan Jaya di Papua.”

Terkait perilaku pejabat publik seperti Luhut Binsar Pandjaitan yang mengkriminalisasi penelitian, pendapat, dan ekspresi yang sah, selain tidak bisa dilakukan penuntutan, maka mengacu pada Pasal 314 KUHP, Luhut tidak bisa lagi melaporkan orang yang mengatakan. Dia punya konflik kepentingan atau lebih tepatnya pertambangan di Papua, kata Asfin.

Dan tidak hanya Luhut, seluruh pihak yang hadir dan disebutkan dalam kajian cepat yang kemudian dikukuhkan dalam putusan juga tidak bisa melaporkan adanya tindak pidana penghinaan, lanjutnya.

Terakhir, Asfin menjelaskan, putusan kasasi terhadap Haris dan Fatia hendaknya menjadi peraturan perundang-undangan bagi majelis hakim di setiap tingkat pengadilan ketika mengadili perkara pidana terhadap aktivis/pembela HAM dan lingkungan hidup.

Berdasarkan catatan TAUD, Asfin mengatakan masih terdapat berbagai kasus pidana serupa seperti Daniel Fritz Tangkilisan sebagai pejuang yang berusaha melestarikan Karimunjawa, Muhriyono, petani Pakel yang merampas tanahnya karena disita pihak swasta, dan Sorbatua Siallagan, seorang pedagang tradisional. Tokoh masyarakat yang menentang perampasan tanah adat di Simalungun masih terus memperjuangkan keadilan.

“Dalam perkara ini sudah sepatutnya majelis hakim yang mengadili perkara pidana aktivis/pembela HAM dan lingkungan hidup harus berani memutuskan bebas, seperti kasus Fatia dan Haris,” kata Asfin.

Sebelumnya, MA menguatkan keputusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur yang membebaskan Haris dan Fatia.

Keduanya dibebaskan karena dianggap tidak terbukti melakukan tindak pidana seperti yang didakwakan jaksa dalam Pasal 27 ayat 3 juncto Pasal 45 ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Pasal 14 ayat 2 juncto dengan Pasal 15 UU UU 1/1946, dan Pasal 310 KUHP. Masing-masing pasal disertai dengan Pasal 55 ayat 1 KUHP.

Saat itu, majelis hakim pengadilan tingkat pertama menilai kata ‘pak’ dalam kasus pencemaran nama baik Luhut yang diduga tidak bermaksud menghina.

Nomor perkara: 202/Pid.Sus/2023/PN Jkt.Tim dan 203/Pid.Sus/2023/PN Jkt.Tim diadili oleh Ketua Majelis Hakim Cokorda, Gede Arthana, bersama hakim anggota Muhammad Djohan Arifin dan Agam Syarief Baharudin.

(ryn/DAL)