Sleman, Pahami.id —
Mahkamah Agung (MA) membantah dugaan dugaan tindak pidana korupsi sebesar Rp 97 miliar di lembaganya melalui pemotongan honorarium penanganan perkara (HPP) hakim Agung.
Dalam kasus ini, Juru Bicara MA Suharto membantah tudingan Indonesia Police Watch (IPW) terhadap pimpinan MA yang diberitakan sejumlah media arus utama pada 11 September 2024.
Pemberitaan di media massa juga direspon dengan aksi demonstrasi yang dilakukan massa mewakili Ikatan Mahasiswa Jakarta pada 12 September 2024, kata Soeharto saat menggelar jumpa pers di Royal Ambarrukmo, Sleman, DIY, Senin (17/1). 9).
Bahwa tidak ada praktik pemotongan honor untuk menangani perkara hakim MA yang dilakukan secara paksa dengan campur tangan pimpinan MA, lanjutnya.
Bahkan, kata Suharto, hakim MA sepakat menyerahkan 40 persen hak HPP yang diterima secara sukarela untuk disalurkan kepada tim dukungan teknis dan administrasi peradilan.
Ia mengatakan, kerelawanan tersebut dituangkan dalam surat keterangan bermaterai dan diketahui oleh pimpinan kamar terkait.
Suharto melanjutkan, untuk memperlancar proses penyerahan sebagian hak Hakim Mahkamah Agung kepada HPP, Hakim Mahkamah Agung memberi wewenang kepada Bank Syariah Indonesia (BSI) untuk mendebit dana dari setiap rekening penerimaan HPP hakim Mahkamah Agung.
“Seluruh hakim Mahkamah Agung telah membuat pernyataan penyerahan secara sukarela sebagian haknya atas biaya pengurusan perkara dan pendebetan surat kuasa. Oleh karena itu, tidak benar ada hakim Mahkamah Agung yang menolak,” klaim Soeharto.
Suharto menjelaskan, bangkitnya kesadaran hakim Mahkamah Agung untuk menyerahkan haknya kepada HPP antara lain disebabkan oleh proses penanganan perkara yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Menurut dia, proses tersebut tidak bisa diselesaikan oleh hakim agung sendiri.
Proses tersebut meliputi penerimaan berkas perkara, penelaahan dan penataan berkas perkara, pendaftaran berkas perkara, penetapan ruangan, penetapan panel, dan pendistribusian perkara, penentuan hari pembahasan dan pidato, berkas perkara, pembahasan dan sidang pidato, berita acara. dan mengirimkan file ke pengirim. pengadilan.
Proses ini, kata Mahkamah Agung, memerlukan kerja kolektif antara hakim Mahkamah Agung sebagai pelaksana fungsi pokok dan unsur klerikal dan sekretariat Mahkamah Agung sebagai penunjang teknis dan administrasi peradilan. Kata dia, diperlukan sinergi untuk mempercepat operasional.
Pemberian honorarium penanganan perkara di Mahkamah Agung berbeda dengan pengaturan di Mahkamah Konstitusi (MK). Di Mahkamah Konstitusi, selain Hakim Konstitusi, HPP juga diberikan kepada gugus tugas dan/atau pegawai di Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi. Sedangkan untuk MA, HPP hanya diperuntukkan bagi hakim agung.
Latar belakang pemberian HPP kepada Hakim Mahkamah Agung sebagaimana tertuang dalam alinea keempat penjelasan PP 82/2021 dan surat Menteri Keuangan tentang Satuan Biaya Masukan Lainnya (SBML) HPP adalah untuk mempercepat proses penyelesaian. perkara dan mengurangi tumpukan perkara di Mahkamah Agung.
Dengan mempertimbangkan praktik pemberian HPP kepada Mahkamah Konstitusi, efektivitas percepatan penyelesaian perkara, dan penanganan perkara yang bersifat kerja kolektif, maka seluruh Hakim Agung tanpa ada paksaan sepakat untuk menyerahkan 40 persen bagiannya untuk Penanganan Perkara. Mendukung. Tim.
Pernyataan penyerahan sebagian haknya secara sukarela dibuat oleh hakim agung pada awal tahun 2022 bersamaan dengan surat Menteri Keuangan tentang SBML HPP tahun 2022 sebagaimana disebutkan di atas, jelas Suharto.
Bantah korupsi Rp 97 miliar
Dalam kesempatan itu, Soeharto juga membantah tudingan pimpinan lembaganya melakukan tindak pidana korupsi pemotongan HPP hingga Rp 97 miliar.
Menurut pihaknya, IPW menduga HPP yang disalurkan kepada penerima hanya 74,05 persen yang digunakan dan sisanya digunakan pimpinan MA untuk kepentingan pribadi. Hal ini berdasarkan Nota Nomor 2606/PAN/HK.00/10/2022 tanggal 3 Oktober 2022 dan Nota Dinas Nomor 1808/PAN/HK.00/9/2023 tanggal 12 September 2023 tentang Perubahan Alokasi HPP Tahun 2023.
Dalam memorandum dan nota dinas internal tersebut, lanjut Suharto, panitera MA menyampaikan informasi kepada hakim agung, panitera muda, dan panitera pengganti mengenai perubahan jumlah HPP yaitu Pimpinan DPR (26%), Anggota DPRD. . 1 (17%), Anggota Majelis Negara 2 (17%), Panitera Pengganti (7,5%), Panitera Junior House (1%), operator (3,55%), dan staf balai (2%).
Berdasarkan total alokasi penerima HPP yang tertuang dalam nota sebesar 74,05 persen, IPW menyimpulkan sisa dana HPP yang disalurkan sebesar 25,95 persen digunakan untuk kepentingan pribadi pimpinan.
Berdasarkan hal tersebut, MA menegaskan keterangan IPW terkait dugaan tindak pidana korupsi berupa pemotongan honorarium penanganan perkara hakim MA yang mencapai Rp97.020.757.125,00 adalah tidak benar karena didasarkan pada data yang tidak benar dan pengolahan informasi,” tegas Soeharto.
Suharto mengklaim honor penanganan perkara itu disalurkan seluruhnya atau 100 persen kepada penerima alokasi sesuai besaran yang ditetapkan dalam Putusan Panitera MA Nomor 2349/PAN/HK.00/XII/2023 tanggal 5 Desember 2023, yaitu sebuah perbaikan. pada Keputusan Panitera Mahkamah Agung sebelumnya.
Suharto membenarkan, HPP dialokasikan kepada 43 kelompok penerima yang terdiri dari hakim panel (60%), pengawas (7%), dukungan teknis peradilan (29%) dan dukungan administrasi peradilan (4%).
“Jika ada petugas penerima yang tidak terisi baik karena pensiun atau karena keadaan lain, maka akan dilakukan redistribusi ke seluruh penerima,” ujarnya.
(anak/anak-anak)