Medan, Pahami.id –
Sertu Riza Pahlivi selaku tergugat dalam kasus tersebut penganiayaan hingga meninggalnya MHS (15), siswi SMP di MedanSumut, divonis 10 bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Militer I-02.
Selain hukuman penjara 10 bulan, Sertu Riza juga diwajibkan membayar ganti rugi kepada pemohon Lenny Damanik (ibu korban) sebesar Rp12,7 juta.
Vonis hakim terhadap Sertu Riza lebih ringan dibandingkan tuntutannya.
Sebelumnya, jaksa menuntut Riza divonis 1 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan. Dia dituduh menganiaya anak yang sudah meninggal. Terdakwa dijerat Pasal 76C juncto Pasal 80 Ayat 3 UU Nomor 35 Tahun 2014.
Mendengar keputusan hakim, ibu korban, Lenny Damanik pun tak kuasa menahan air mata dan rasa kecewanya. Ia menyatakan tidak mendapatkan keadilan yang layak atas kematian putranya karena disiksa oleh tentara.
Ibu korban dan anggota keluarga yang mendengar pembacaan putusan hakim langsung menyatakan hal itu tidak adil. Suara korban bahkan membuat majelis hakim terhenti sejenak saat membacakan putusan.
Dalam keterangan resminya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan menilai putusan terhadap Sertu Riza merupakan sejarah buruknya penegakan hukum dan matinya keadilan dalam peradilan militer.
“Sebagai lembaga yang fokus pada penegakan hukum dan HAM dan juga sebagai pengacara ibu korban, LBH menilai putusan yang sangat ringan terhadap terdakwa telah melukai rasa keadilan korban serta melanggar hukum dan HAM,” kata Direktur LBH Medan Irvan Saputra, Selasa (21/10).
Irvan mengatakan, keluarga korban juga menganggap keputusan tersebut tidak wajar Sebuah quo Saat majelis hakim dalam pertimbangannya menyatakan tidak ditemukan bekas atau bekas luka pada tubuh korban.
“Sebenarnya sebelumnya korban merasakan sakit yang luar biasa pada bagian perutnya sehingga mengakibatkan tidak bisa duduk dan muntah-muntah terus. Begitulah saksi Det Malem Haloho dalam persidangan,” jelasnya.
Menurut Irvan, kejanggalan putusan tersebut semakin nyata ketika pertimbangan hukum lain menyatakan terdakwa tidak melakukan penyerangan terhadap korban.
Padahal, menurut keterangan saksi Ismail Syahputra Tampubolon yang melihat langsung korban diserang dan akibatnya terjatuh di antara rel di lokasi kejadian, jelasnya.
Senada, saksi Naura Panjaaitan menyatakan ada pemukulan yang mengakibatkan seorang anak terjatuh di bawah rel. Namun karena Naura Panjaaitan meninggal dunia, ia berhalangan hadir di persidangan.
Secara hukum, kejanggalan kasus MHS terlihat ketika Sertu Riza Pahlivi tidak ditahan, padahal telah menyebabkan meninggalnya seorang anak kecil, kata Irvan.
Kritik terhadap tuntutan jaksa
Tak hanya itu, menurut pihaknya, hukum terang-terangan dimanipulasi ketika JPU Letkol M. Tecki Waskito yang seharusnya memperjuangkan hak dan keadilan korban hanya menuntut terdakwa dipenjara selama 1 tahun.
Ancaman hukuman bagi pelaku kekerasan terhadap anak hingga meninggal dunia adalah 15 tahun penjara sebagaimana diatur dalam Pasal 76 C Jo 80 ayat (3) undang-undang nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak, kata Irvan.
Namun tuntutan JPU hanya 1 tahun penjara dan bukannya berharap mendapatkan keadilan, hakim justru memperburuk kehancuran keadilan dengan memberikan hukuman kepada terdakwa hanya 10 bulan penjara atau dengan kata lain lebih ringan dari putusan pencuri ayam, ujarnya.
Irvan menilai keputusan tersebut menggambarkan sulitnya memperoleh keadilan dalam peradilan militer. Oleh karena itu, LBH Medan dengan tegas meminta jaksa militer menempuh jalur hukum banding.
Tak hanya itu, LBH Medan juga akan melaporkan majelis hakim perkara A quo ke Mahkamah Agung karena adanya dugaan kejanggalan dalam putusan Riza Pahlivi, tegasnya.
Berkaca dari putusan kasus MHS dan beberapa kasus lainnya yang juga diputuskan enteng dan tidak memberikan keadilan, LBH Medan mendesak pemerintah melakukan reformasi peradilan militer.
Sebelumnya, Pengadilan Militer Medan I/02 melalui majelis hakim memvonis Sertu Riza Pahlevi 10 bulan penjara dalam persidangan di Pengadilan Militer Medan pada Senin (20/10).
Majelis hakim yang diketuai Letkol Ziky Suryadi dalam putusannya menyatakan terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan kelalaian/kelalaian yang mengakibatkan meninggalnya orang lain.
Kemudian majelis hakim menghukum terdakwa 10 bulan penjara dan memberikan uang pengganti kepada ibu korban.
Sementara setelah putusan dibacakan, Sertu Riza diberi waktu tujuh hari untuk berpikir untuk mengajukan banding.
“Kalau dalam jangka waktu tersebut tidak mendapat putusan, bisa mengajukan banding. Kalau saat ini tidak bisa mengambil keputusan, bisa dipikirkan, diberi waktu 7 hari terhitung mulai besok.
Kasus ini bermula setelah ibu korban melaporkan penganiayaan yang dilakukan anaknya ke Denpom I/5 pada 28 Mei 2024. Laporan diterima dengan nomor: TBLP-58/V/2024.
(FNR/Anak-anak)