Berita Korban Bullying Tewas dan Hilangnya Rasa Aman di Sekolah

by
Berita Korban Bullying Tewas dan Hilangnya Rasa Aman di Sekolah


Jakarta, Pahami.id

Kasus intimidasi atau intimidasi masih sering terjadi di lingkungan pendidikan seperti sekolah ke universitas Dalam beberapa kasus, korban menggertak sampai dia meninggal.

Kasus terbaru, seorang siswa kelas 7 SMP Negeri 19 Ciater Serpong, MH di-bully oleh teman sekelasnya. Kejadian ini bermula saat kepala korban dipukul dengan bangku besi pada bagian kepala saat hendak istirahat pada 20 Oktober 2025.

Keesokan harinya, korban mulai mengeluh sakit akibat kejadian tersebut. Saat dilakukan penelusuran mendalam oleh pihak keluarga, ternyata korban mengaku kerap mendapat perundungan karena ditendang.


Korban meninggal dunia saat menjalani perawatan di RS Fatmawati, Jakarta Selatan, pada Minggu (16/11), setelah menjalani perawatan selama seminggu.

Presiden Prabowo Subianto menaruh perhatian terhadap fenomena perundungan di sekolah. Ia menegaskan, kasus perundungan di sekolah harus ditanggulangi.

Sementara itu, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti mengaku akan mengeluarkan aturan pembentukan tim di sekolah untuk mengatasi permasalahan bullying.

Mu’ti menjelaskan, nantinya tim ini akan dibentuk di setiap sekolah dengan pendekatan yang lebih manusiawi dan partisipasi semua pihak.

Kemudian melibatkan orang tua, siswa, bahkan masyarakat, agar berbagai kekerasan yang terjadi selama ini tidak terulang kembali di kemudian hari, ujarnya.

Satuan tugas intimidasi gagal

Koordinator Nasional Jaringan Pengawasan Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menilai kejadian yang dialami MH merupakan pertanda sekolah kini dalam keadaan darurat kekerasan.

Menurutnya, hal ini juga menunjukkan bahwa negara gagal melindungi siswa karena aksi kekerasan justru terjadi di lingkungan sekolah yang seharusnya menjadi tempat paling aman bagi anak.

Apalagi, kata dia, berdasarkan informasi yang diperoleh, aksi kekerasan tersebut bukanlah kejadian baru. Namun hal itu sudah terjadi sejak Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) pada bulan Juli lalu.

“Ini bukan sekedar kelalaian, tapi bentuk kegagalan negara dalam memastikan sekolah aman. Anak-anak kehilangan nyawa, dan ini terjadi setelah berbulan-bulan diabaikan,” ujarnya. Cnnindonesia.comSelasa (18/11).

Ubaid mendesak Menteri Pendidikan Dasar dan seluruh pemerintah daerah mengevaluasi kerja Satgas Pencegahan dan Operasi Terorisme di tingkat daerah dan kabupaten/kota.

Menurutnya, pada kasus MH, kerja Satgas kurang maksimal karena lalai sehingga kasus perundungan yang terjadi tidak tertangani dengan baik.

“Selama ini kinerja gugus tugas belum jelas, anggota mendapat fasilitas dan anggaran, tapi tidak terlihat hasil kerjanya. Kasus terorisme justru semakin meningkat,” ujarnya.

Selain itu, JPPI juga menekankan buruknya kinerja Pencegahan dan Penanganan Terorisme (TPPK) di sekolah.

Ia menilai pembentukan TPPK hanya untuk memenuhi kebutuhan administratif. Akibatnya, kata dia, tim tersebut tidak berfungsi efektif dan mengakibatkan banyak kasus tidak ditangani secara serius, pelapor tidak ikut serta, dan korban tidak mendapatkan perlindungan.

“Kalau TPPK berjalan sebagaimana mestinya, mustahil kita akan terus melihat korban berjatuhan seperti sekarang. Kejadian ini tidak hanya terjadi di Tangsel saja, tapi banyak terjadi di berbagai daerah, jadi jangan sampai ada korban yang berjatuhan lagi,” ujarnya.

Korban bullying tidak dilindungi

Konsultan Yayasan Lentera Anak dan psikolog forensik, Reza Indragiri Amriel mengatakan, banyak kasus korban bullying tidak mendapat perlindungan dari sekolah.

Ia mencontohkan, ketika korban bullying berusaha berani melaporkan kasusnya, tidak jarang sekolah mengabaikannya. Padahal, kata dia, sekolah harus menjadi pihak pertama yang memberikan bantuan.

“Anak-anak atau korban yang mengadu dikatakan ‘semenmu’, ‘meremehkan keadaan’, ‘bercanda itu hal biasa dalam persahabatan’,” ujarnya.

Kalimat itu terdengar indah, namun disadari atau tidak, pihak yang seharusnya memberikan bantuan, justru melakukan pengorbanan kedua, ujarnya.

Sementara itu, Ubaid menilai situasi tersebut juga dipengaruhi oleh kesalahan paradigma pembentukan Satgas dan TPPK di masing-masing sekolah.

Ia mengatakan, saat ini banyak TPPK yang justru memilih menutup-nutupi kasus perundungan yang ditemukan karena khawatir akan merusak citra atau kredibilitas sekolah.

“Justru kita harus menjaga nama baik sekolah dengan menciptakan sistem dan tata kelola yang ramah anak dan anti kekerasan,” jelasnya.

Jadi kalau ada laporan bagaimana prosesnya, bagaimana melindungi korban, bagaimana melindungi saksi, itu harusnya dilakukan, katanya.

Di sisi lain, ia melihat banyak kasus perundungan yang tidak tertangani karena anggota TPPK di setiap sekolah terdiri dari guru-guru yang sudah memiliki beban akademik juga.

“Saat ini anak-anak kita tidak aman di sekolah, jika negara tidak segera bertindak, tragedi akan terus terulang. Anak-anak harus diselamatkan sekarang,” ujarnya.

(FRA/TFQ/FRA)