Berita Komnas HAM Aceh Sebut Bencana Sumatra Penuhi Indikator Status Nasional

by
Berita Komnas HAM Aceh Sebut Bencana Sumatra Penuhi Indikator Status Nasional


Jakarta, Pahami.id

Demikian disampaikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Sekretariat Aceh bencana hidrometeorologi Banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi secara sporadis di tiga wilayah Sumatera – Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat – pada akhir November lalu memenuhi kriteria penetapan status bencana nasional.

Proses penanganan pascabencana – termasuk membuka tempat-tempat terpencil dan pencarian korban – masih berlangsung di beberapa wilayah terdampak hingga saat ini. Hingga saat ini, status tanggap darurat bencana tersebut masih berlaku di wilayah tersebut, meski bantuan dari pusat terus mengalir dalam beberapa waktu terakhir.

“Dalam konteks hukum nasional, bencana ekologi di ketiga provinsi tersebut telah memenuhi indikator menjadi bencana nasional sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 ayat (2) Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana,” kata Sepriady Utama, kepada Sekretariat Komnas HAM Aceh, di Banda Aceh, Selasa (17/12) seperti dikutip dari di antara.


Dalam undang-undang tersebut, kata dia, disebutkan bahwa penetapan status dan tingkat bencana nasional dan daerah memuat indikator-indikator antara lain jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana; cakupan wilayah yang terkena bencana dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkannya.

Penetapan sebagai bencana nasional dapat dilakukan jika terdapat jumlah korban yang besar, kerugian materi yang besar, cakupan wilayah terdampak yang luas di seluruh wilayah, terganggunya fungsi pelayanan masyarakat dan pemerintah, serta menurunnya kemampuan daerah dalam menghadapi bencana.

Di sisi lain, lanjut Sepriady, pemerintah Aceh juga telah meminta bantuan kepada dua badan PBB di Indonesia, yakni United Nations Development Program (UNDP) dan UNICEF untuk terlibat dalam penanganan pascabencana di Tanah Rencong.

Oleh karena itu, kami terus mengapresiasi apa yang telah dilakukan pemerintah pusat, TNI, Polri, BNPB, BPBD/BPBA, dan pemerintah daerah. Jadi, untuk mempercepat penanganan pasca bencana ekologi di Aceh, Sumut, dan Sumbar termasuk pemulihan dan rekonstruksi, pemerintah perlu segera menetapkan status bencana nasional, ”ujarnya.

Sepriady menjelaskan, Ketua Komnas HAM RI menyatakan bencana ekologis di Sumatera menegaskan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA), mitigasi risiko bencana, dan tata kelola pembangunan tidak lepas dari penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Dampak yang ditimbulkan dari bencana ini sangat besar, antara lain ribuan orang kehilangan tempat tinggal, akses terhadap air bersih, layanan kesehatan, fasilitas pendidikan, tempat ibadah, rusaknya infrastruktur (seperti jembatan, jalan, jaringan telekomunikasi, listrik) dan dukungan terhadap kebutuhan dasar terputus, serta banyak keluarga yang hidup dalam situasi pengungsian terbatas.

Kemudian, pada 8 hingga 11 Desember 2025, Komnas HAM melakukan peninjauan situasi bencana di Kabupaten Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, serta wilayah lain yang masuk dalam kategori wilayah sangat terdampak bencana.

“Pengamatan difokuskan pada kondisi para penyintas di pengungsian, khususnya kelompok rentan, sedangkan identifikasi dan memastikan pemenuhan hak asasi manusia masih menjadi perhatian utama,” ujarnya.

Hak-hak organisasi kemanusiaan internasional

Ia menyatakan, sesuai prinsip 18 dan 25 Pedoman Pengungsi Internal (IDP) yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Kemanusiaan PBB, semua pengungsi internal berhak atas standar hidup yang baik dalam situasi apa pun, dan tanpa diskriminasi.

Pengungsi berhak atas makanan pokok dan air bersih, tempat tinggal atau perumahan dasar, pakaian yang layak, layanan kesehatan dan sanitasi.

Sepriady mengatakan, meski pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk memberikan bantuan kemanusiaan kepada pengungsi. Namun, organisasi kemanusiaan internasional dan aktor lain di sektor kemanusiaan juga berhak menawarkan layanannya dalam upaya membantu para pengungsi.

Tawaran tersebut tidak boleh ditafsirkan sebagai campur tangan terhadap urusan dalam negeri suatu negara, namun harus dipertimbangkan dengan itikad baik. Oleh karena itu, persetujuan untuk menerima tawaran bantuan tidak boleh ditunda.

“Semua otoritas terkait harus memfasilitasi akses bebas dan terbuka terhadap bantuan kemanusiaan dan memastikan akses cepat terhadap pemberian bantuan,” tegasnya.

Ia menambahkan, pemerintah juga perlu segera membentuk badan ad hoc atau gugus tugas pemulihan dan rekonstruksi untuk memfasilitasi, mempercepat, dan memastikan proses pemulihan pascabencana terkoordinasi dan berkelanjutan.

Termasuk pembangunan infrastruktur, perumahan, fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan, tempat ibadah serta normalisasi kehidupan sosial ekonomi di Aceh, Sumut, dan Sumbar, kata Sepriady.

Sebelumnya, dalam rapat kabinet paripurna di Istana Negara awal pekan ini, Prabowo membeberkan alasan tidak menetapkan status bencana nasional dan menolak bantuan internasional terlebih dahulu.

Dalam kesempatan itu, Prabowo menanggapi kritik dari berbagai pihak yang mendesak penetapan status darurat bencana nasional banjir dan tanah longsor di Pulau Sumatera. Ia mengatakan situasi kini sudah terkendali, dan menjelaskan prioritas bantuan dari pemerintah pusat untuk daerah yang terkena bencana di Pulau Sumatera.

“Ada yang teriak ingin ini ditetapkan sebagai bencana nasional, kita sudah bergerak, ini 3 provinsi dari 38 provinsi. Jadi situasi terkendali, saya akan pantau terus,” kata Prabowo dalam rapat kabinet paripurna, Jakarta, Senin (15/12).

Prabowo juga mengaku telah menerima telepon dari banyak pemimpin negara lain yang menawarkan bantuan, namun ia bersikeras bahwa Indonesia bisa menanganinya sendiri.

“Saya banyak ditelepon oleh para pejabat negara yang ingin mengirimkan bantuan, saya ucapkan terima kasih atas perhatiannya, kami mampu. Indonesia mampu mengatasi hal ini,” ujarnya.

Prabowo pun mengaku akan membentuk badan atau gugus tugas pemulihan dan rekonstruksi.

Dalam rapat kabinet tersebut, beberapa staf juga melaporkan rencana pengiriman bantuan, baik logistik maupun sumber daya manusia, ke daerah yang terkena bencana.

(antara/anak-anak)