Makassar, Pahami.id —
Divisi Propam Polda Sultra (Sulawesi Tenggara) menggelar sidang etik maraton terhadap mantan Kapolsek Baito, Ipda Muhammad Idris terkait dugaan permintaan uang rekonsiliasi Rp 50 juta kepada Guru SDN 04 Baito, Supriyani saat menangani kasus kekerasan terhadap anak oleh polisi di Kabupaten Konawe Selatan.
Dalam sidang etik, Kabag Propam Polda Sultra Kombes Pol Moch Sholeh, ditemukan dalam sidang tidak ada permintaan uang rekonsiliasi Rp50 juta dari Ipda Idris untuk guru Supriyani.
Namun, lanjut Sholeh, eks Kapolsek Baito itu mengaku uang Rp2 juta itu terkait kasus guru Supriyani.
“Tidak ada [permintaan uang Rp50 juta]Hanya ada Rp 2 juta, kata Sholeh kepada wartawan, Kamis (12/5).
Proses uji etik yang berlangsung sejak Rabu (12/4) ini dilakukan secara maraton. Dalam sidang etik Ipda Muhammad Idris, kata Sholeh, tidak ada fakta dalam persidangan terkait uang pelunasan Rp 50 juta.
“Kami transparan dan terbuka. Jadi, saya tidak mau berasumsi apa-apa tapi ini kebenaran persidangan,” ujarnya.
“Sementara ini kami fokus memeriksa Ipda Muhammad Idris sebagai tersangka pelaku. Semuanya kami periksa, ada tujuh saksi termasuk ibunda Supriyani, Aipda Wibowo dan istrinya,” jelasnya.
Namun hingga saat ini Ipda Muhammad Idris belum ditempatkan di tempat khusus (Patsus), Soleh mengaku pihaknya masih menunggu hasil sidang etik.
“Belum. Jadi Patsus itu setelah sidang. Apa hasilnya nanti, putusannya terbukti melanggar, minta maaf atau turunkan jabatan, kalau terbukti iya, dengan tambahan Patsus atau tidak. Makanya saat ini kami belum bisa berspekulasi dan kami masih menunggu ujian Aipda Amiruddin,” ujarnya.
Rp 2 juta untuk renovasi Mapolsek Baito
Dalam persidangan, Divisi Propam Polda Sultra menemukan uang sebesar Rp2 juta yang diminta mantan Kapolsek Baito Ipda M Idris kepada guru honorer Supriyani digunakan untuk membangun gedung Satreskrim Polres Baito.
Kepala Divisi Propam Polda Sultra Moch Sholeh mengatakan, informasi tersebut didapat dari sidang kode etik mantan Kapolsek Baito Ipda Muhammad Idris dan Kanit Reskrim Polsek Baito Aipda Amiruddin.
Menurut dia, dalam sidang kode etik juga terungkap uang yang diberikan Kampung Wonua Raya Rokiman kepada Kapolsek Baito Ipda Muhammad Idris digunakan untuk membangun gedung Satreskrim Polsek Baito.
Jadi, uang yang diterima dari Kepala Desa kurang lebih Rp 2 juta, diterima untuk pembangunan ruang Reskrim Polsek Baito untuk pembelian ubin dan semen, dan itu sudah diakui, kata Sholeh di Kendari, Kamis ini. , seperti dikutip dari di antara.
Dalam sidang etik maraton tersebut, Propam juga menghadirkan tujuh orang saksi, yakni guru Supriyani, Katiran (suami Supriyani), Lilis Herlina Dewi (rekan Supriyani), Lurah Wonua Raya Rokiman, serta orang tua terduga korban penganiayaan Aipda. Wibowo Hasyim dan Nur Fitriana.
Hingga berita ini ditulis, Bid Propam masih melakukan sidang lanjutan terkait kode etik Ipda Muhammad Idris dan Aipda Amiruddin dan dijadwalkan membacakan putusan terhadap kedua anggota polisi tersebut.
Sebelumnya, Supriyani dituduh menganiaya seorang siswa yang berstatus polisi di SD Negeri 4 Baito pada Rabu (24/4) sekitar pukul 10.00 Wita. Dalam dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU), anak yang diduga dianiaya berusia 8 tahun.
Supriyani didakwa melanggar pasal 80 ayat 1 jo pasal 76C Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Belakangan, kuasa hukum Supriyani mengungkapkan ada permintaan uang dari petugas kepolisian di Polsek Baito agar kliennya tidak ditangkap dan atau dimintai uang rekonsiliasi. Kecurigaan tersebut kini didalami Propam Polda Sultra.
Sementara itu, dalam kasus dugaan penganiayaan anak oleh polisi, majelis hakim Pengadilan Negeri Andoolo memvonis bebas Guru Supriyani.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Andoolo mengatakan, dalam fakta persidangan, terdakwa Supriyani terbukti tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan JPU pada dakwaan alternatif pertama dan kedua. .
Jadi majelis hakim menyetujui nota pembelaan terdakwa, sehingga majelis hakim tidak setuju dengan tuntutan JPU, karena terdakwa dibebaskan maka hak-hak terdakwa harus dikembalikan, kata Vivi dalam persidangan. Pengadilan Negeri Andoolo, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Senin (25/11).
Oleh karena itu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Andoolo memutuskan membebaskan terdakwa dari segala tuntutan JPU.
Dan mengembalikan hak-hak terdakwa dari segi kemampuan, kedudukan, kehormatan dan martabat. Penetapan barang bukti berupa sepasang seragam sekolah dasar dan kemeja lengan pendek, motif batik dan celana berwarna merah agar dikembalikan kepada saksi Nur Fitriana, petugas sapu sabut harus dikembalikan untuk menjadi saksi Lilis Sarlina Dewi,” kata Ketua Pengadilan Negeri Andoolo Stevie Rosano.
(mir, Antara/anak)