Jakarta, Pahami.id –
Komisi Majelis Perwakilan VIII Atalia Praratya mengkritik aplikasi skema siswa ke -50 dalam satu kelas untuk level SMA/SMK Di daerah Jawa Barat.
Menurut istri mantan gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, kebijakan tersebut tidak mempertimbangkan kondisi guru dan siswa.
Dia mengakui bahwa dia sering menerima pengaduan dan hati para guru sekolah menengah di daerahnya di Jawa Barat tentang kebijakan yang diterapkan oleh Gubernur Jawa Dedi Mulyadi Barat di Tahun Baru.
“Saya melihat bahwa 25 orang di kelas yang sama, sangat manusiawi.
“Saya bisa mendapatkan banyak masukan dan mengakui dari guru, mereka merawat 25 siswa dalam satu kelas, terutama 50 anak -anak ini, terutama pada (siswa sekolah menengah) ketika mereka remaja,” katanya.
Dari para siswa, tentu saja mereka akan duduk dalam persatuan. Tidak bebas untuk menulis di meja sekolah yang terkadang tidak intens. Belum lagi postur anak sekolah tidak cocok jika mereka duduk lebih dari dua anak di satu meja.
“Bagaimana anak -anak bisa duduk dengan nyaman dengan 50 orang. Kegiatan mereka tidak akan nyaman dan sulit,” kata Atalia.
Atalia membandingkan kondisi pembelajaran di sekolah umum dengan sekolah umum di bawah Kementerian Sosial (Kementerian Urusan Sosial). Misalnya, SRMP 08 Cimahi di Abiyoso Sentra, hanya 25 siswa per kelas.
“Mohon pelajari dan evaluasi kebaikan, yang harus disesuaikan.
Sebelumnya, aturan kuota untuk satu siswa kelas 50 di sekolah negeri diatur dalam dekrit gubernur Jawa Barat tentang pedoman teknis untuk pencegahan putus sekolah.
Kepgub juga memicu perdebatan antara pemerintah daerah dan sekolah swasta. Pada pertemuan kerja Komisi Java Barat 5 dengan Departemen Pendidikan dan Perwakilan Forum Sekolah Swasta, Ketua Sekolah Kejuruan Java Barat (FKSS) Ade Hendriana mengatakan kebijakan itu tidak adil dan berpotensi melanggar undang -undang yang berlaku.
“BMPS setuju dengan Gubernur Java Barat tentang pencegahan PGUB putus sekolah karena sejalan dengan tujuan BMPS.
Dia menyebutkan bahwa pendudukan siswa di sekolah swasta tahun ini hanya 30 persen karena penambahan rabel di negara ini. Alih -alih meningkatkan siswa di sekolah umum, ADE menyarankan agar anak -anak dari keluarga tidak dapat ditransfer ke sekolah swasta dengan bantuan subsidi pemerintah.
Menanggapi kritik, kepala Kantor Pendidikan Java Barat Purwanto menekankan bahwa semangat kebijakan itu adalah untuk menyelamatkan anak -anak dari kelompok yang terpapar sehingga mereka tidak terganggu dari pendidikan.
Purwanto menekankan bahwa penambahan Rabels tidak berlaku secara merata, tetapi hanya di daerah -daerah tertentu dari populasi dan dekat dengan kantong keluarga miskin.
“Di sekolah -sekolah yang solid, kemudian dekat dengan alamat orang miskin, karena ada data KETM, keluarga ekonomi yang buruk yang ada sekitar 61 ribu orang kita ditunjukkan untuk memasukkan data,” katanya.
Mengenai kekhawatiran sekolah swasta, Purwanto mengatakan kesempatan untuk sekolah swasta masih besar, karena 700 ribu lulusan, sekitar 400 ribu siswa tidak ditempatkan di sekolah umum, bahkan setelah kelas.
“Dari lulusan kami sekitar 700 ribu, masih ada sekitar 400 ribu anak yang tidak ditempatkan di negara ini, bahkan setelah penambahan kelas.
Sebagai solusi panjang, pemerintah daerah Java Barat menyediakan pembangunan 661 ruang kelas baru (RKBS) dan 15 unit sekolah baru (USB) untuk tingkat sekunder dan kejuruan. Total anggaran yang disediakan untuk pembangunan ruang dengan furnitur dan toilet mencapai Rp300 miliar.
Baca berita lengkapnya Di Sini.
(Anak -anak/gil)