Berita Apakah Banyak Islamofobia di Inggris?

by


Jakarta, Pahami.id

Bahasa inggris dilanda kerusuhan setelah tiga anak tewas ditikam di Southport, Merseyside, pada Senin (29/7) pekan lalu.

Insiden penikaman itu terjadi di acara bertema Taylor Swift di sebuah sekolah tari di Southport. Tiga gadis yakni Bebe King (6), Elsie Dot Stancombe (7), dan Alice Dasilva Agular (9) tewas akibat kejadian tersebut. Sepuluh orang lainnya juga terluka.


Kerusuhan terjadi setelah beredar rumor di media sosial bahwa pelaku penikaman adalah seorang imigran Muslim. Warga negara Inggris juga melakukan demonstrasi yang menyasar para pencari suaka dan komunitas Muslim di beberapa wilayah Inggris.

Para pengunjuk rasa yang sebagian besar beraliran kanan juga menyerang masjid-masjid dan menimbulkan kekacauan dengan menjarah toko-toko, menghancurkan fasilitas-fasilitas umum dan membakar mobil.

Faktanya, polisi telah mengidentifikasi bahwa pelaku penikaman bukanlah seorang imigran, melainkan seorang remaja berusia 17 tahun asal Banks, Lancashire, sekitar 8 kilometer dari lokasi penyerangan.

Pelaku lahir di Cardiff, ibu kota sekaligus kota terbesar di negara bagian Wales, Inggris.

Menurut beberapa ahli, demonstrasi sayap kanan seperti ini dipicu oleh sentimen Islamofobia di kalangan sebagian warga Inggris.

Runnymede Trust, sebuah wadah pemikir kesetaraan ras dan hak-hak sipil, mengatakan bahwa “kekerasan rasis semacam ini telah muncul di bawah permukaan” masyarakat Inggris sejak lama.

“Apa yang terjadi adalah akibat langsung dari rasisme dan Islamofobia selama bertahun-tahun, yang dilakukan oleh politisi dan media Inggris,” kata juru bicara Runnymede Trust. Independen.

Menurut data Home Office, terjadi peningkatan insiden dan retorika Islamofobia dalam beberapa tahun terakhir di Inggris.

Sebuah laporan yang diterbitkan oleh Tell MAMA pada tahun 2023 mengungkapkan bahwa insiden Islamofobia meningkat dua kali lipat di Inggris antara tahun 2012-2022.

Secara umum, kejadian tersebut disebabkan oleh meningkatnya aktivitas sayap kanan, serangan anti-Muslim di dunia, wacana politik, serta kampanye referendum Brexit.

Pada bulan Maret, umat Islam di Inggris mengatakan mereka takut meninggalkan rumah mereka pada malam hari karena jumlah insiden Islamofobia meningkat sebesar 365 persen sejak serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober.

Awal tahun ini, mantan anggota parlemen Partai Tory Lee Anderson memicu kontroversi setelah mengejek walikota Muslim London, Sadiq Khan, dengan mengatakan Khan “dikendalikan” oleh “kelompok Islam”. Anderson akhirnya diskors dari pesta tersebut.

Meski sempat diskors, Anderson mengaku tak menyesali pernyataannya. Dia juga mengklaim “kebanyakan orang setuju” dengannya.

Di Inggris, peran media juga mempunyai pengaruh penting terhadap persepsi masyarakat terhadap umat Islam. Media-media di Inggris disebut kerap menjajakan Islamofobia dalam artikelnya.

Laporan Pusat Pemantauan Media Dewan Muslim Inggris (CfMM) yang dirilis pada tahun 2021 menemukan bahwa 59 persen dari lebih dari 10.000 artikel dan klip yang merujuk pada Muslim dan Muslim pada tahun 2018 mengaitkan Muslim dengan perilaku negatif.

Lebih dari sepertiganya bahkan salah mengartikan atau menggeneralisasi umat Islam sebagai terorisme.

Meskipun tercatat banyak insiden Islamofobia, pihak berwenang Inggris tidak melakukan apa pun untuk mengatasi hal ini.

Perdana Menteri baru Inggris dari Partai Buruh, Keir Starmer, juga dikritik karena tidak mampu membawa perubahan.

“Sekarang dia berada di pemerintahan, dan umat Islam diserang dan masjid-masjid menjadi sasaran, namun pemerintahannya masih belum memiliki rencana untuk bertemu dengan badan terbesar yang mewakili umat Islam di Inggris. Apa yang berubah?” tulis Asosiasi Muslim Inggris di X.

(blq/baca)