Berita 42 Ribu KK di Surabaya Terancam Diblokir, Klarifikasi hingga 1 Agustus

by


Surabaya, Pahami.id

Sebanyak 42.408 kartu keluarga (KK) terancam diblokir oleh Pemkot Surabaya, karena alamat tempat tinggal tidak sesuai dengan data yang tertera. Risikonya adalah mereka tidak akan mampu mengurus sebagian administrasi kependudukan.

Kepala Dinas Kependudukan dan Registrasi Masyarakat Surabaya Eddy Christijanto mengatakan, pihaknya mencatat ada 97.408 KK yang domisilinya berbeda dengan data Pemkot. Jumlah tersebut kini semakin berkurang.

“Totalnya (penurunan) 61.750 (KK), lalu turun lagi menjadi 42.807, sekarang tinggal 42.408,” kata Eddy, Sabtu (20/6).


Eddy menuturkan, jumlahnya mengalami penurunan belakangan ini. Sebab, sejumlah warga yang domisilinya berbeda dengan KK sudah memberikan penjelasan.

Oleh karena itu, Eddy meminta masyarakat segera memberikan penjelasan kepada RT/RW setempat. Sebab, KK mereka akan diblokir jika tidak segera bergerak, hingga batas akhir 1 Agustus 2024.

Dampak dari pemblokiran ini adalah mereka yang data administratifnya (administratifnya) diblokir, tidak bisa berfungsi, ujarnya.

Jika KK-nya diblokir, maka warga tidak bisa melakukan beberapa proses administrasi menggunakan KTP-nya. Seperti layanan BPJS hingga kebutuhan NPWP.

“[Tidak bisa] Anda juga tidak bisa membuat rekening baru untuk BPJS, dan untuk keperluan NPWP. Tujuannya, ketika mereka bermasalah dengan dokumen KTP-nya, pasti datang ke kami, katanya.

Oleh karena itu, Eddy berharap masyarakat menaati aturan bertempat tinggal di KK sesuai domisilinya. Hal ini akan memudahkan pemerintah dalam mengumpulkan data.

“Ini berpengaruh kalau misalnya terdaftar di keluarga miskin. Tapi kalau mau bantu tidak ada, bagaimana kita tingkatkan kesejahteraannya? Tidak ada, jadi kita (Pemkot) punya kesulitan,” katanya.

Sebelumnya, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya melalui Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapul) mengaku akan memblokir 61.750 kartu keluarga (KK) di Surabaya yang diduga melanggar administrasi kependudukan.

Pelanggaran administrasi kependudukan yang dimaksud adalah Pemkot Surabaya melarang satu alamat atau satu rumah dihuni lebih dari tiga keluarga sekaligus. Peraturan ini berlaku mulai 31 Mei 2024, berdasarkan Surat Sekretariat Daerah Pemerintah Kota Surabaya No 400.12 /10518/436.7.11/2024.

“Data kami yang sedang diolah untuk 61.750 keluarga [terancam diblokir],” kata Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Surabaya Eddy Christijanto kepada media, Selasa (11/6).

Aturan ini, kata Eddy, berdasarkan temuan database administrasi kependudukan yang memuat alamat yang diisi oleh empat atau bahkan puluhan keluarga sekaligus.

Kemudian, saat petugas melakukan verifikasi lapangan, ternyata kondisi dan ukuran rumah tersebut tidak layak untuk dihuni banyak keluarga sekaligus.

Selain itu, pada kasus lain, banyak pula pemilik KK yang mendapati dirinya sudah tidak berdomisili lagi di alamat atau rumah yang bersangkutan. Diduga mereka menaiki alamat tersebut hanya untuk tujuan tertentu.

Sementara itu, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengatakan, pihaknya mengambil kebijakan tersebut setelah mengetahui satu alamat rumah dihuni 50 kepala keluarga. Setelah dicek ternyata pemilik KK sudah pindah ke kelurahan lain, kelurahan lain atau sudah tidak berdomisili lagi di Kota Pahlawan.

“Sekarang kalau satu rumah ada 50 KK, semuanya kos-kosan, sekolahnya ditanggung Pemkot. Lalu, bagaimana dengan warga asli Surabaya yang tinggal di Surabaya?” kata Eri dalam keterangannya.

Ada pula, kata Eri, ditemukannya rumah yang ukurannya tidak memenuhi standar rumah sehat, melainkan dihuni oleh empat keluarga atau lebih.

“[Rumah] tipe 45, itu yang terkecil. Jika sekarang [ada temuan rumah berukuran] 3×4 meter itu rumah atau bukan? itu pertanyaannya. Artinya tidak [seperti] Asrama. “Nah, di kostnya sampai 50 keluarga, lalu di mana mereka mau tidur,” ujarnya.

Oleh karena itu, menurut Eri, Pemkot Surabaya perlu mengambil langkah tegas untuk menertibkan administrasi kependudukan tersebut. Ia pun menerapkan kebijakan satu rumah atau satu bidang tanah hanya boleh ditempati maksimal tiga keluarga.

Menurutnya, kebijakan ini juga dapat digunakan untuk mempercepat pengentasan kemiskinan dan mendukung program kesejahteraan masyarakat.

“Pemkot mengambil kebijakan satu bidang adalah tiga keluarga, sementara kita lihat berapa jumlah penduduknya. Dengan tiga keluarga ini, kita bisa fokus menyelesaikan masalah kemiskinan. Kita bisa membantu masyarakat mulai dari bangku sekolah hingga perguruan tinggi,” dia berkata.

Hal ini dilakukan untuk memastikan intervensi atau bantuan sosial yang diberikan pemerintah kota tepat sasaran, dan didistribusikan secara merata kepada keluarga yang benar-benar membutuhkan.

Eri juga menegaskan, pemerintah daerah memprioritaskan bantuan sosial bagi masyarakat asli Surabaya yang bermukim di Kota Pahlawan. Selain itu, politikus PDIP ini juga melarang warga memecah belah keluarga dalam satu rumah hanya karena ingin mendapat bantuan sosial.

“Misalnya saya menikah, saya ke rumah orang tua. Habis itu kartu keluarga saya rusak. Maklum, kalau kartu keluarga orang tua di rumah rusak, Pemkot mengontrol bagaimana memberikan bantuan,” ujarnya. dikatakan.

(frd/pmg)