Berita 15.687 Pengungsi Bencana di Sumut Terpapar Penyakit Kulit

by
Berita 15.687 Pengungsi Bencana di Sumut Terpapar Penyakit Kulit


Medan, Pahami.id

Pelayanan Kesehatan Daerah Sumatera Utara menyatakan bahwa penyakit kulit merupakan keluhan kesehatan yang paling banyak dialami oleh masyarakat yang terkena dampak banjir hingga 22 Desember 2025. Kondisi lingkungan pasca banjir dan terbatasnya sanitasi di lokasi pengungsian dinilai menjadi faktor utamanya.

Sekretaris Dinas Kesehatan Sumut, Hamid Rijal melalui Tenaga Ahli Muda Kebersihan Lingkungan, Dedi Lubis mengatakan, kasus penyakit kulit yang dilaporkan sebanyak 15.687 kasus. Kasus terbanyak ditemukan di Kabupaten Langkat, Tapanuli Tengah, Deliserdang, Batubara, Tebingtinggi, dan Mandailing Natal.

“Hal ini perlu menjadi fokus perhatian terutama mengenai faktor risiko seperti paparan air kotor, sanitasi lingkungan yang belum optimal, terbatasnya air bersih, dan padatnya lokasi pengungsian meningkatkan risiko gangguan kesehatan kulit,” kata Dedi, Selasa (23/12).


Selain penyakit kulit, Dinkes Sumut juga mencatat 12.693 kasus Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Jumlah tertinggi terdapat di Tapanuli Tengah, Langkat, Deliserdang, Kota Medan, dan Tapanuli Selatan. Di Tapanuli Tengah, peningkatan ISPA terjadi karena situasi wilayah yang mulai kering pascabanjir.

“Sekarang Tapteng mulai kering, sehingga keluhan ISPA semakin meningkat,” ujarnya.

Penyakit lain yang juga dilaporkan antara lain diare sebanyak 2.424 kasus, influenza like disease (ILI) sebanyak 991 kasus, dan dugaan demam tifoid sebanyak 636 kasus. Menurut Dedi, data tersebut mencerminkan adanya penyakit berbasis air dan makanan pada fase pasca banjir.

Sementara kasus malaria sebanyak 266 kasus dan suspek DBD sebanyak 12 laporan. Kami mohon kewaspadaan ditingkatkan mengingat potensi peningkatan tempat perkembangbiakan nyamuk yang biasa muncul setelah air laut surut, jelasnya.

Dedi menambahkan, situasi evakuasi pascabanjir di Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng) juga menyisakan sejumlah permasalahan non medis yang berpotensi berdampak pada kesehatan masyarakat. Salah satunya terkait minimnya ruang privat bagi pengungsi, khususnya pasangan suami istri di lokasi pengungsian GOR Tapteng.

Penemuan ini merupakan hasil diskusi antara tim kesehatan jiwa Dinkes Sumut dan Kementerian Kesehatan, serta observasi lapangan oleh tim kesehatan reproduksi dan psikologis. Jadi di GOR Tapteng tidak ada ruang intim untuk suami istri, jelas Dedi.

Menurut Dedi, persoalan ini bukan merupakan kewenangan langsung sektor kesehatan. Namun dampaknya dapat menimbulkan masalah kesehatan fisik dan mental bagi pengungsi.

Hasil wawancara tim kesehatan reproduksi dan psikologis, ini permintaan langsung dari pengungsi. Dari Kementerian Kesehatan, itu bukan indikasi kami, biasanya domain pelayanan sosial. Tapi bisa berdampak pada kami, ujarnya.

Dinas Kesehatan Sumut telah mengkomunikasikan temuan tersebut kepada relawan di lapangan dan mendorong koordinasi lintas sektor. Namun hingga saat ini belum ada lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang secara khusus menyatakan kesediaannya untuk menangani permasalahan tersebut.

“Silakan hal ini ditindaklanjuti. Kita sedang membahasnya dan membuka ruang masukan, karena ini penting,” jelas Dedi.

(fnr/tidak)