5 Gimmick Xiaomi yang Diam-diam Dibenci Penggunanya – Tekno

by
5 Gimmick Xiaomi yang Diam-diam Dibenci Penggunanya – Tekno

Pahami.id – Perjalanan Xiaomi menuju puncak industri teknologi dunia dibangun atas dasar inovasi, harga wajar, dan strategi pemasaran yang unggul. Namun, meski sukses besar, ada beberapa gimmick yang menuai kritik dari pengguna sendiri. Beberapa tindakan yang dianggap efektif dari sudut pandang bisnis seringkali menimbulkan ketidaknyamanan dan efek manipulatif di mata konsumen.


Dimulai dari kehadiran iklan Mulai dari sistem operasi hingga taktik penamaan produk yang membingungkan, strategi ini telah menjadi bagian yang tak terhapuskan dari citra Xiaomi. Dilansir dari Times of Xiaomi, Kamis (13/11/2025), berikut lima gimmick yang kerap dikeluhkan pengguna di berbagai negara:


1. Iklan di hyperos




Salah satu sumber pendapatan paling kontroversial bagi Xiaomi adalah praktik memasukkan iklan langsung ke sistem operasinya, baik di Hyperos versi baru maupun MIUI versi lama. Strategi ini membantu perusahaan menjaga harga perangkat tetap kompetitif, namun banyak pengguna yang terganggu dengan munculnya iklan di antarmuka sistem.


Iklan ini biasanya muncul di aplikasi default seperti File Manager, Musik, atau bahkan pengaturan. Meski pengguna bisa menonaktifkannya secara manual, namun prosesnya tidak selalu mudah. Pola ini lebih banyak ditemukan pada lini produk Redmi dan Poco dibandingkan seri premium seperti Xiaomi 15T Pro, yang menunjukkan bahwa Xiaomi menyasar strategi tersebut pada segmen budget user.


2. Bloatware dan aplikasi yang tidak diinginkan


Masalah lain yang sering disorot adalah banyaknya aplikasi bawaan atau yang disebut dengan bloatware. Aplikasi ini tidak hanya menghabiskan ruang penyimpanan dan daya baterai, namun juga menimbulkan kekhawatiran mengenai privasi data. Meskipun pengguna dengan hati-hati menolak saran aplikasi yang disponsori selama proses penyiapan awal, beberapa aplikasi masih muncul secara otomatis setelah pembaruan sistem.


Situasi ini memberikan kesan bahwa Xiaomi mengutamakan keuntungan hasil kolaborasi dengan pihak ketiga untuk memberikan pengalaman pengguna yang bersih dan efisien. Meski perusahaan memberikan opsi untuk menghapus sebagian besar aplikasi tersebut, bagi banyak pengguna hal ini masih dianggap mengganggu.


3. Penamaan produk yang rumit dan membingungkan


Sistem penamaan produk Xiaomi juga kerap menjadi bahan keluhan. Banyak pengguna yang menganggap penamaan perangkat -seperti Redmi Note 15, Redmi Note 15 Pro+, atau Xiaomi 15T, tidak hanya rumit, tapi juga membingungkan. Bahkan, beberapa staf penjualan resmi terkadang kesulitan menjelaskan perbedaan masing-masing model.


Redmi Catatan 15. [Xiaomi]

Permasalahan ini diperburuk dengan praktik branding antardaerah. Misalnya saja seri Redmi K yang dipasarkan di China yang kerap muncul sebagai seri POCO di pasar internasional, sedangkan Redmi K Ultra diubah menjadi seri Xiaomi T. Contoh klasiknya adalah Redmi K20 yang dirilis secara global dengan nama Mi 9T, sebuah langkah yang masih membingungkan pengguna.


4. Penjualan kilat dan kekurangan buatan


Xiaomi juga dikenal dengan taktik “flash sale” yang menciptakan efek eksklusif dengan stok yang sangat terbatas. Strategi ini awalnya berhasil di pasar negara berkembang karena menciptakan rasa urgensi dan keinginan untuk membeli.


Namun di beberapa negara Barat, cara ini dianggap menyesatkan. Misalnya saja ketika Xiaomi menjual ponsel seharga 1 poundsterling di Inggris, ternyata yang tersedia hanya sepuluh unit. Banyak pengguna yang menuduh perusahaan menciptakan “kelemahan palsu” untuk menarik perhatian, sehingga Xiaomi terpaksa meminta maaf secara terbuka. Meskipun efektif pada masa-masa awal ekspansi, strategi semacam ini kini dianggap tidak relevan dan menurunkan kredibilitas merek.


5. Kolaborasi premium dengan Leica yang dipertanyakan


Untuk meningkatkan citra premiumnya, Xiaomi telah berkolaborasi dengan Leica dalam pengembangan kamera untuk model andalan seperti Xiaomi 15 Ultra. Kolaborasi ini memperkenalkan fitur-fitur unggulan seperti Leica Vario-Summilux Lens, Portrait Master Mode, dan Street Photography Mode.


Namun, sejumlah pengamat menilai kolaborasi ini lebih bersifat simbolis dibandingkan memberikan peningkatan nyata pada kualitas foto. Ironisnya, aplikasi fotografi resmi Leica, Lux, hanya tersedia untuk iPhone, sehingga membuat kemitraan dengan Xiaomi terkesan kontradiktif. Meski demikian, kolaborasi ini tetap memberikan nilai strategis bagi Xiaomi dalam bersaing dengan merek premium seperti Apple dan Samsung.


Secara keseluruhan, strategi ini mencerminkan dilema Xiaomi dalam menjaga keseimbangan antara harga wajar dan keuntungan tinggi. Meskipun pendekatan ini sering menimbulkan rasa frustasi di kalangan konsumen, namun tidak dapat dipungkiri bahwa langkah-langkah tersebut membantu perusahaan mempertahankan daya saingnya di pasar global. Tantangan besar Xiaomi ke depan adalah bagaimana mempertahankan inovasi dengan tetap mengedepankan kenyamanan dan kepercayaan konsumen.