Jakarta, Pahami.id –
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengkritik sikap Menteri Hak Asasi Manusia Natalius Pigai berkaitan dengan hukum acara pidana (KUHAP) baru saja dikukuhkan oleh DPR RI.
Sikap Pigai dinilai Isnur kurang mantap, hanya menyatakan siap menampung aspirasi masyarakat.
Dalam jumpa pers di gedung YLBHI, Sabtu (22/11), Isnur menegaskan, kini bukan saatnya mengakomodir melainkan membaca KUHAP secara komprehensif.
“Kementerian HAM harusnya ditanya, terlibat atau tidak? Karena Kementerian HAM akan bertanggung jawab di mata internasional,” kata Isnur dalam konferensi pers koalisi sipil yang mendesak kepala negara menerbitkan PerPU untuk membatalkan KUHAP.
Isnur mengatakan forum internasional seperti Universal Periodic Review (UPR) dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) menilai situasi di Indonesia.
Kedua forum tersebut berada di bawah naungan Dewan Hak Asasi Manusia PBB.
Laporan situasi tersebut, kata dia, mencerminkan buruknya situasi di Indonesia.
“KUHAP ini akan memperburuk keadaan Indonesia di forum PBB, di forum sidang UPR, di forum sidang ICCPR,” kata Isnur.
Unit Hak Asasi Manusia PBB akan menerima pengaduan dari warga negara anggota PBB dan kemudian mengkajinya oleh tim peninjau.
“Jadi Kementerian HAM Pak Pigai bersiaplah untuk ditertawakan dan dikritik habis-habisan oleh forum PBB,” kata Isnur.
Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) melalui undang-undang no. 12 Tahun 2005.
Pigai sebelumnya mengatakan Kementerian Hak Asasi Manusia membuka pintu bagi masyarakat yang ingin menyampaikan aspirasinya terhadap KUHAP.
Ia mengklaim unsur hak asasi manusia dalam KUHAP sebenarnya sudah terpenuhi.
Namun ISNUR dan organisasi sipil yang tergabung dalam Koalisi Publik Reformasi Kuhap mengkritik produk undang-undang tersebut.
Menurut mereka, KUHAP mengancam kebebasan sipil, berpotensi menyasar pembela hak asasi manusia, dan menyamarkan undang-undang kepolisian nasional yang sebelumnya ditolak masyarakat.
Mereka kemudian mendesak Presiden Indonesia untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PerPU) untuk membatalkan penerapan produk hukum tersebut.
(ISA/BAC)

