Berita Wacana Pertemuan Prabowo-Megawati dan Wajah Demokrasi Indonesia

by


Jakarta, Pahami.id

Wacana Rapat Pimpinan Umum PDIP MegawatiSoekarnoputri dan Presiden terpilih Prabu Subianto memberikan sinyal lain tentang wajah demokrasi Indonesia lima tahun ke depan.

Rapat disebut-sebut tak hanya membahas urusan kabinet atau pembagian kursi menteri. Lebih lanjut, pertemuan tersebut akan menunjukkan masa depan demokrasi Indonesia, khususnya di DPR.


“Indonesia sedang mengalami senja demokrasi atau Maghrib demokrasi, karena Maghrib sudah senja. Kalau Maghrib gelap maka demokrasi kita akan gelap,” kata Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia (ASI), Ali Rif’an . saat dihubungi, Jumat (4/3).

Kabar pertemuan tersebut belakangan kian menguat karena baik Prabowo maupun Megawati disebut-sebut ingin bertemu. Ketua DPP PDIP Deddy Yevry Sitorus bahkan mengatakan pertemuan itu sudah dijadwalkan.


PDIP saat ini menjadi satu-satunya partai di luar Koalisi Prabowo pada Pilpres 2024 yang belum menyatakan dukungannya. Sementara empat partai lainnya seperti PKS, NasDem, dan PKB siap mendukung Prabowo.

Oleh karena itu, kabar pertemuan antara Prabowo dan Mega, apalagi dibenarkan oleh Puan Maharani, semakin memberi sinyal bahwa ke depan tidak akan ada lagi oposisi terhadap pemerintah di DPR.

Apalagi, nama beberapa kader PDIP dan orang-orang dekat Megawati semakin banyak masuk dalam reshuffle kabinet. Mereka antara lain Azwar Anas, Olly Dondokambey, dan Budi Gunawan.

“Bagi saya, ini adalah akhir dari demokrasi di Indonesia. Jadi, ini tidak sehat. Selain pasca reformasi dalam sejarah Indonesia, ini mungkin pertama kalinya ada pemerintahan tanpa oposisi,” kata Ali.

Pemeriksaan dan keseimbangan atau pendapat yang berbeda?

Anggota DPR sekaligus Wakil Sekjen PDIP Utut Adianto sepakat fraksinya di DPR ke depan tidak setajam atau sekeras dulu. Menurut Utut, semangat zaman sudah berubah.

Kalau kritiknya mungkin sudah tidak tajam seperti dulu. Semangat zamannya sudah berbeda, kata Utut di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (1/10) lalu.

Utut mengatakan, segala sikap dan tindakan manusia dipengaruhi oleh semangat zaman. Dan menurutnya, sikap oposisi kini sudah tidak diapresiasi lagi oleh masyarakat.

Menurut dia. Kelas bawah yang dominan saat ini lebih membutuhkannya bantuan segera atau bantuan cepat.

“Semua sikap, semua tindakan dipengaruhi oleh semangat zaman. Semangat zaman, apakah masyarakat menghormati sikap oposisi? Tidak. Rakyat tidak membutuhkan itu,” kata Utut.

Sebaliknya, Utut mengambil alih fungsi checks and balances Bagi DPR, itu tak lain hanyalah sebuah istilah yang enak didengar dan disukai kalangan akademisi.

Padahal, kata dia, PDIP sebagai satu-satunya partai yang tidak menyatakan dukungannya, bukanlah sebuah check and balance jika harus berhadapan dengan tujuh fraksi lain di DPR. Itu tidak lain hanyalah perbedaan pendapat atau perbedaan pendapat.

Pemeriksaan dan keseimbangan ayatnya enak didengar. Tapi lapangannya misalnya 7 lawan 1 atau 6 lawan 2, tidak hanya itu saja pemeriksaan dan keseimbangan, Itu pendapat yang berbeda. Tidak mengubah apa pun. Tidak mengubah apa pun,” kata Utut.

Kata Anggota DPR dari Fraksi Golkar, Ahmad Doli Kurnia checks and balances merupakan fungsi yang secara teori menjadi milik DPR. Menurut dia, DPR bertugas mengawasi kebijakan dan program pemerintah.

Oleh karena itu, kata Doli, masyarakat tidak perlu khawatir bagaimana fungsi ini akan berjalan di masa depan. Yang terpenting adalah bagaimana pemerintah ke depan bisa terus membangun dialog dan menerima kritik.

Jadi sebenarnya kita tidak perlu khawatir dan saya kira harus ada komitmen antara Presiden, Pak Prabowo, dan pimpinan parpol, kata Doli.

Sementara itu, Ali berpendapat masyarakat tidak boleh mengharapkan DPR lima tahun ke depan. Begitu pula dengan peran DPR sebagai lembaga pengawasan pemerintahan. Saya yakin fungsinya akan steril.

Jadi fungsi pengawasannya akan steril. Jadi DPR saat itu hanya punya dua kewenangan, yakni anggaran dan undang-undang. Tapi UU DPR pun hanya menjadi stempel kekuasaan, ujarnya.

(thr/fr)