Jakarta, Pahami.id –
Status kepemilikan empat -tanah perbatasan di wilayah tersebut A dan Sumatra Utara (Sumatra Utara) Gema setelah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menetapkan empat dalam administrasi Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatra Utara.
Keputusan itu ditolak oleh pemerintah Aceh yang mengklaim keempat pulau itu adalah bagian dari wilayah mereka.
Keempat pulau dalam perselisihan adalah Long Island, Pulau Lipan, Pulau Kingkan (patuh kecil), dan Pulau Mangkir Mangkir (skala besar).
Dilaporkan oleh Halaman Pemerintah Provinsi ACEH (Pemprov), pemerintah daerah bersama dengan tim kementerian dalam negeri telah melompat ke pulau yang disengketakan untuk mengkonfirmasi langsung pada tahun 2022.
Di Long Island, pemerintah Provinsi Aceh menunjukkan jejak yang membuktikan bahwa pulau itu milik Aceh. Ada monumen selamat datang yang dibangun oleh Pemerintah Aceh Singkil dan monumen koordinat yang dibangun oleh Kantor Penciptaan dan Bangunan MARGA 2012.
Pulau Panjang memiliki luas sekitar 47,8 hektar dan terletak 2,4 kilometer dari daratan distrik Tahanuli Central.
Meskipun Pulau Long tidak dihuni oleh penduduk, ada beberapa infrastruktur seperti Shelter dan Masjid yang dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Skkil pada 2012, dan dermaga yang dibangun pada 2015.
Pemerintah Aceh menyebut keberadaan infrastruktur sebagai bukti bahwa pulau itu dimasukkan dalam wilayah administrasi Aceh Singkil.
Sementara itu, Pulau Lipat memiliki luas sekitar 0,38 hektar dan terletak 1,5 kilometer dari Tapanuli tengah. Menurut surat konfirmasi Gubernur Aceh pada tahun 2009 setelah konfirmasi pulau itu, diketahui bahwa Pulau Lipan asli disebut Pulau Malelo.
Pulau Lipan hampir tidak dikenali sebagai pulau karena sebagian besar area darat telah tenggelam karena naiknya permukaan laut.
Pulau ini juga dianggap tidak lagi memenuhi kriteria sebagai pulau dalam arti Konvensi Laut PBB (UNCLOS), karena tidak muncul selama air pasang tertinggi. Namun, satelit Citra pada tahun 2007 telah menunjukkan pertumbuhan di lokasi.
Di sisi lain, Pulau Kangkir kecil, atau awalnya bernama Pulau Rangit Kecil, memiliki area 6,15 hektar dan sekitar 1,2 kilometer dari daratan Tapanuli tengah. Meskipun tidak dihuni, pulau ini memiliki monumen dan prasasti yang dibangun oleh pemerintah Aceh sebagai bentuk klaim ke wilayah tersebut.
“Welcome to Aceh Singkil Regency, Provinsi Nanggro Aceh Darussalam” dibangun pada 2008, dan diperkuat dengan prasasti tambahan pada tahun 2018 yang disebutkan oleh tim konfirmasi selama kunjungan.
Pulau keempat dalam perselisihan adalah Pulau Mangkir yang hebat, dengan luas 8,16 hektar dan sekitar 1,9 kilometer dari daratan Tapanuli tengah. Pulau Besar awalnya disebut Pulau Besar Rangit. Sama seperti tiga pulau lainnya, pulau ini tidak ditempati oleh orang -orang.
Di pulau ini hanya ada batas -batas wilayah yang dibangun oleh pemerintah Aceh. Tidak ada infrastruktur tambahan atau aktivitas populasi yang ditemukan.
Keempat pulau yang disengketakan tidak jauh dari tempat kerja minyak dan gas pantai barat (OSWA), yang berada di bawah otoritas Badan Manajemen Minyak dan Gas Aceh (BPMA). Namun, kepala BPMA Nasri Djalal mengatakan keempat pulau itu tidak termasuk dalam ruang lingkup area kerja OSWA.
“Secara umum, keempat pulau dekat dengan area kerja (WK) di luar pantai barat Aceh (OSWA) dan tidak termasuk dalam OSWA WK, yang merupakan WK terdekat dengan kekuatan Badan Manajemen Minyak dan Gas Aceh,” Nasri Djalal mengatakan kepada CNNindononesia.com, Kamis (12/6).
Dia menambahkan bahwa sejauh ini belum ada data seismik yang memadai untuk mengevaluasi potensi minyak dan gas di wilayah tersebut. Oleh karena itu, penilaian komprehensif kandungan minyak dan gas tidak dimungkinkan.
“Kami mendorong ulasan awal dan akuisisi data seismik sehingga potensi minyak dan gas dapat diidentifikasi dengan jelas,” katanya.
Hal yang sama dikatakan oleh kepala kantor Aceh ESDM, Taufik. Menurutnya, partainya mencari data lama yang terkait dengan potensi minyak dan gas di empat perairan pulau.
“Kami sedang mencari data yang tepat, tentu saja ini merupakan area kerja minyak dan gas. Potensi ini lama (minyak dan gas), tetapi informasi itu lagi kami menggali lagi,” kata Taufik.
Sebelumnya, pemerintah melalui Menteri Urusan Dalam Negeri nomor 300.2.2-2138 dari tahun 2025 telah menetapkan bahwa keempat pulau itu dikelola di dalam Pusat Regional Tapanuli, Wilayah Sumatra Utara.
Namun, keputusan ini segera menarik protes dari pemerintah Aceh dan rakyatnya. Mereka mengatakan bahwa pulau -pulau itu memiliki ikatan historis dan Yuridis dengan provinsi Aceh. Salah satu dokumen yang digunakan sebagai dasar klaim adalah keputusan pemeriksaan agraria dari nomor 125/ia/1965.
Polemik yang terkait dengan status kepemilikan terus menerus dan peduli tentang berbagai pihak, termasuk kementerian dalam negeri, yang mengatakan mereka akan terus berusaha untuk solusi melalui saluran administratif dan hukum.
(Kay/dal)