Berita Penganut Kristen Ini Abdikan Hidupnya Demi Palestina Hingga Wafat

by
Berita Penganut Kristen Ini Abdikan Hidupnya Demi Palestina Hingga Wafat


Jakarta, Pahami.id

Palestina mempunyai sosok yang tidak toleran dalam memperjuangkan negaranya, bahkan sampai akhir hayatnya.

Salah satunya adalah George Habash, seorang Kristen asal Palestina. Ia meninggal pada 26 Januari 2008 pada usia 82 tahun di King Hussein Medical Center, Yordania.


Habas akrab dengan upaya mengusir kolonialisme sejak kecil hingga dewasa. Ia lahir pada tanggal 1 Agustus 1925, saat Palestina berada di bawah kekuasaan Inggris. Dan sejak saat itu hidupnya tak jauh dari ketegangan dengan penjajah.

Saat bersekolah di sekolah kedokteran di American University of Beirut, Habash melihat kampung halamannya, Lydda, diduduki oleh pasukan Israel yang mengusir 700.000 warga Palestina termasuk keluarganya.

Sejak itu, Habbas mendedikasikan dirinya untuk memerangi pendudukan Israel. Karir perjuangan pertamanya dimulai bersama teman-teman almamaternya di universitas, dengan mendirikan Gerakan Nasionalis Arab atau Harakat Al-Qawmeyon Al-Arab pada awal tahun 1950-an.

Ketika koalisi Arab kalah dalam perang enam hari melawan Yom Kippur pada tahun 1967, ia mendirikan partai Front Populer untuk Pembebasan Palestina (PFLP).

Bersama partai yang didirikannya, nama Habbas mulai menjadi sorotan internasional. Pandangan dan gerakan politiknya dinilai keras bahkan tanpa kompromi. Karena sikapnya itulah ia diberi julukan “Al Hakim”.

Terampil dalam membangun jaringan rahasia

Situs Britannica menuliskan salah satu keahliannya adalah membangun jaringan rahasia pemuda Palestina yang bisa menyusup ke Tepi Barat dan Jalur Gaza untuk menyusahkan tentara Israel.

Seringkali dia mengkritik dan menolak upaya negosiasi. Saat diwawancarai surat kabar Italia Il Manifesto yang terbit pada 29-30 Januari 1974, ia mengucapkan kalimat yang menjadi headline: “Pembebasan Bukan Negosiasi”.

Katanya, perjuangan rakyat Palestina adalah perjuangan untuk membebaskan dunia Arab.

Dalam pertemuan negara-negara Arab (Arab Summit) di Rabat, Maroko, tanggal 25 Oktober 1975, Habas memberikan pernyataan tegas terkait pertemuan tersebut.

Suatu hari kebenaran akan terungkap. Bahwa tidak akan ada perdamaian dengan negara yang menganut doktrin fasis, rasis, untuk melayani kepentingan kelompok imperialis. Slogan masyarakat demokratis Palestina hanya dapat dicapai dengan revolusi Palestina menuju pembebasan semua orang di wilayah tersebut, termasuk Yahudi, dan ini adalah jalan panjang dan permanen menuju perdamaian.

Sebagai sesama pejuang kemerdekaan, ia berteman dengan pendiri PLO (Organisasi Pembebasan Palestina) Yasser Arafat, namun kemudian mengambil jalan berbeda setelah Arafat menandatangani Perjanjian Oslo pada tahun 1995. Ia menilai perjanjian yang disebut sebagai upaya perdamaian dengan Israel itu terlalu tunduk pada kemauan Israel dan negara-negara barat.

Meski banyak perbedaan pandangan mengenai perjuangan Palestina, namun namanya tetap dikenang oleh warganya. Saat meninggalnya, selain menggelar hari duka selama tiga hari, juga hadir sekitar 2.000 pelayat.

Habash dimakamkan di pinggiran kota Amman, Yordania, setelah doa diadakan di gereja Ortodoks Yunani di Amman. Para pelayat membawa bendera Palestina dan foto Habash dalam keadaan duka yang mendalam.

Presiden Palestina Mahmoud Abbas hadir di sana dan mengumumkan tiga hari berkabung.

(imf/bac)