Berita Pemilu yang Berdekatan Bikin Parpol Mudah Terjebak Pragmatisme

by
Berita Pemilu yang Berdekatan Bikin Parpol Mudah Terjebak Pragmatisme


Jakarta, Pahami.id

Pengadilan konstitusional (MK) Dalam salah satu tuntutan hukumnya menyatakan bahwa implementasi pemilihan nasional dan regional/lokal membuat partai politik (partai politik) mudah terperangkap dalam pragmatisme.

Keadilan konstitusional ARIEF selama penyebutan sesi nomor 135/PUU-XXII/2024 di Pengadilan Konstitusi, Jakarta, Kamis, mengatakan bahwa kecenderungan terjadi karena partai politik tidak memiliki cukup waktu untuk memberikan kader yang bersaing di setiap tahap pemilihan.

“Dalam hal ini, partai politik dalam jangka pendek harus menyediakan ribuan kader untuk bersaing dan bersaing di semua tingkat pemilihan, dimulai dengan pemilihan anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan distrik/wakil,


Menurut Mahkamah Konstitusi, pemilihan yang diadakan pada waktu yang berdekatan telah menyebabkan partai politik -partai politik tidak memiliki cukup waktu untuk merekrut kandidat untuk legislator pada tiga pemilihan hukum. Beberapa partai politik harus menyediakan kader untuk pemilihan presiden/wakil presiden.

Agenda pemilihan yang berdekatan dipertimbangkan oleh pengadilan konstitusional untuk memengaruhi kelemahan lembaga partai politik. Pada satu titik, Mahkamah Konstitusi juga melihat bahwa partai -partai politik tidak berdaya dalam menangani realitas politik dan kepentingan politik praktis.

“Misalnya, partai politik lebih terbuka untuk kemungkinan mengikuti kebutuhan pemilik modal dan hanya menghitung popularitas non-penyejaan karena partai politik tidak lagi memiliki kesempatan, waktu, dan energi untuk memberikan kader mereka sendiri pada saat yang sama,” kata Arief.

Akibatnya, katanya, mengambil pencalonan posisi politik dalam pemilihan membuka peluang luas berdasarkan sifat transaksional. Dalam tingkat seperti itu, tingkat pengadilan konstitusional, pemilihan jauh dari proses yang ideal dan demokratis.

Di sisi lain, Mahkamah Konstitusi menyoroti pengumpulan penyelenggara pemilihan dengan jadwal pemilihan nasional dan lokal. Menurut Mahkamah Konstitusi, situasi ini mempengaruhi kualitas pemilihan.

“Selain ancaman terhadap kualitas penyelenggara pemilihan, tumpukan beban kerja penyelenggara didasarkan pada periode waktu tertentu karena efek dari pemilihan tahun yang sama telah menyebabkan kekosongan yang relatif lama untuk penyelenggara pemilihan,” katanya.

Misalnya, pemilihan anggota parlemen Indonesia, DPD RI, dan presiden/wakil presiden dan anggota distrik regional/regional/kota/kota DPRD pada tahun 2024 yang berdekatan dengan pemilihan kepala regional menyebabkan tahap pemilihan yang dilakukan oleh penyelenggara berlangsung selambat -lambatnya dua tahun.

Faktanya, mandat Pasal 22E paragraf (5) Konstitusi Indonesia 1945 mengharuskan penyelenggara pemilihan untuk menjadi nasional dan tetap dari pusat ke tingkat regional dengan periode lima tahun.

“Jadi, kantor penyelenggara pemilihan tidak efisien dan tidak efektif karena hanya menjalankan ‘tugas inti’ pemilihan selama sekitar dua tahun,” tambah Arief.

Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk memisahkan implementasi pemilihan antara nasional dan regional. Pemilihan regional dilakukan setidaknya dua tahun atau maksimal dua tahun dan enam bulan setelah pemilihan negara.

Pemilihan nasional meliputi pemilihan anggota parlemen Indonesia, DPD RI, dan presiden dan wakil presiden, sementara pemilihan regional atau lokal termasuk pemilihan anggota HERPD regional, distrik/kota DPRD, serta para pemimpin dan perwakilan regional.

Dalam kasus ini, Mahkamah Konstitusi memberikan beberapa permintaan yang diajukan oleh Asosiasi Pemilihan dan Demokrasi (Muludem) yang diwakili oleh Ketua Khoirunnisa Nur Agustyati Foundation dan Bendahara Manajemen Yayasan Irmalidarti.

(Antara/gil)