Berita Pasal Perlindungan Wartawan di UU Pers Masih Bersifat Umum

by
Berita Pasal Perlindungan Wartawan di UU Pers Masih Bersifat Umum


Jakarta, Pahami.id

Pakar Hukum Pidana Albert Aries mengatakan normanya ada pada Pasal 8 Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers masih terlalu umum dan belum menjamin kepastian hukum wartawan.

Hal itu disampaikan Albert dalam sidang lanjutan uji materi Pasal 8 UU Pers di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (10/11). Albert dihadirkan oleh Ikatan Jurnalis Hukum (Iwakum) yang menggugat artikel tersebut.

“Dari analisa ahli, petitum tersebut cukup beralasan, karena pengaturan dalam Pasal 8 UU Pers masih terlalu umum dan belum menjamin kepastian hukum, yaitu ‘dalam menjalankan profesinya jurnalis mendapat perlindungan hukum’,” kata Albert.


Sedangkan dalam penjelasannya, yang dimaksud dengan ‘perlindungan hukum’ adalah jaminan pemerintah dan/atau perlindungan masyarakat terhadap jurnalis dalam menjalankan fungsi, hak, kewajiban, dan perannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ujarnya.

Menurut Albert, penjelasan Pasal 8 UU Pers tidak memberikan perlindungan khusus bagi jurnalis.

“Penafsiran Pasal 8 masih bersifat delegatif dan bergantung pada ‘peraturan perundang-undangan lainnya’, tanpa menyebutkan ketentuannya secara spesifik,” ujarnya.

Ia menambahkan, ketentuan yang menyatakan “jaminan perlindungan dari pemerintah dan masyarakat” bersifat delegatif dan bergantung pada peraturan lain tanpa ketentuan khusus.

Padahal, tujuan lahirnya undang-undang pers pasca reformasi adalah untuk menjamin kebebasan pers yang profesional, bebas dari campur tangan, dan mendapat perlindungan hukum dalam menjalankan fungsinya sebagai wahana komunikasi massa, penyebaran informasi, dan pembentukan opini publik.

Albert juga menilai, ketentuan yang seharusnya menjadi landasan perlindungan hukum bagi jurnalis sebenarnya ada pada pasal lain, yakni pasal 18 ayat (1) UU Pers yang mengatur larangan terhadap siapa pun yang menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan (3) tentang larangan sensor dan pelarangan jurnalistik.

Sebagai perbandingan, Albert mengatakan profesi lain memiliki perlindungan hukum yang lebih jelas, seperti advokat pada Pasal 16 UU Nomor 18 Tahun 2003, anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Pasal 26 UU Nomor 15 Tahun 2006, dan Ombudsman RI pada Pasal 10 UU 37 Tahun 2008.

“Profesi jurnalis juga berhak mendapatkan kekebalan profesional (BeroePrecht) serta profesi lain yang diatur dengan undang-undang. Namun kekebalan ini tidak boleh diartikan tidak sah, kata Albert.

Dosen Universitas Trisakti itu menegaskan, jurnalis yang menjalankan profesinya dengan itikad baik sesuai Kode Etik Jurnalistik tidak bisa dituntut. Menurut dia, jurnalis yang melakukan pelanggaran seperti pemerasan, pencemaran nama baik, atau tindak pidana lainnya masih bisa diproses.

Jadi permintaan A quo ada alasannya, seperti dalil Veritas Servanda Est, kita semua termasuk jurnalis adalah pelayan kebenaran, katanya.

Kekerasan yang terjadi saat ini mencakup demonstrasi pada bulan Agustus

Dalam persidangan kali ini, Iwakum menghadirkan saksi seorang jurnalis foto yang mengalami kekerasan fisik saat melakukan pemberitaan di kawasan Kwitang, Jakarta, bernama Muhammad Adimaja.

“Saya dipukuli secara brutal oleh orang-orang di lokasi kejadian. Peristiwa itu juga menjadi viral ketika seorang jurnalis memberi tahu saya bahwa saya dan teman-teman telah dipukuli,” ujarnya di hadapan majelis hakim.

Adimaja mengaku tak hanya mendapat intimidasi fisik, namun juga ancaman verbal. Ditegaskannya, tugas fotojurnal adalah mengambil gambar sesuai fakta yang ada di lapangan, bukan sesuatu yang dirancang atau diarahkan.

Ia berharap perlindungan hukum terhadap jurnalis bisa diperjelas agar kejadian serupa tidak terulang kembali.

“Saat itu kami dianggap sebagai petugas intelijen atau informan. Ada juga yang mencoba merebut kamera, kami dipukuli dengan tongkat, dan juga dipaksa terjatuh,” ujarnya.

Sidang Perkara Nomor 145/PUU-XXIII/2025 yang dipimpin Ketua Hakim Suhartoyo ini beragendakan mendengarkan keterangan saksi dan ahli yang dihadirkan Iwakum selaku pemohon.

Dalam permohonannya, Iwakum mempertanyakan Pasal 8 UU Pers yang dinilai banyak tafsir dan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam memberikan perlindungan kepada jurnalis.

Pasal 8 UU Pers menyebutkan jurnalis mendapat perlindungan hukum dalam menjalankan profesinya. Sedangkan penjelasan pasal tersebut mengartikan perlindungan sebagai jaminan dari pemerintah dan/atau masyarakat.

Menurut pemohon, rumusan tersebut tidak menjelaskan secara konkrit mekanisme perlindungan hukum yang seharusnya diterima jurnalis dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.

(Fra/Fra)