Jakarta, Pahami.id –
Kasus terdakwa gangguanSaya wayan Bakat Suwartama atau Iwas, secara resmi menikah dengan pacarnya, adalah seorang Nopianti.
Pria cacat yang tidak memiliki tangan yang sudah menikah di bea cukai Hindu tradisional widana di mana posisi pengantin pria digantikan oleh belati yang dibungkus dengan kain putih.
Itu karena Agus tidak dapat menghadiri pernikahan adat karena diadakan di Pusat Penahanan Kelas IIA Kuripan, Lombok Barat, Nusa Barat Tenggara (NTB).
“Karena Agus masih dalam proses peradilan, tidak dicegah melakukan pernikahan Bali tradisional,” pengacara Iwas, Ainuddin, dikutip seperti dikutip pada hari Senin (4/14).
Menurut Ainuddin, pernikahan itu direncanakan jauh sebelum Agus diseret dalam kasus pelecehan seksual terhadap siswa perempuan di Mataram. Acara ini disaksikan oleh keluarga kedua, para pemimpin agama, dan perwakilan dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PhDI).
“Patung inilah yang dikatakannya berkulit putih, kemudian dibawa, diarak, disaksikan oleh tradisi, pemimpin agama, dan keluarga kedua, kemudian selesai dan sebagai suami dan istri,” kata Ainuddin.
Ainuddin menekankan bahwa pernikahan itu hanya kebiasaan dan tidak dicatat dalam administrasi. Ini karena Iwas masih menjalani proses hukum yang belum selesai.
“Hidup dalam proses hukum, hanya kesabaran wanita yang menunggu, jika (agus) dihukum bebas, dia harus keluar.
“Sederhana -Pernikahan ini akan menjadi awal dari kehidupan berkah baru dan suami akan kembali ke United Happiness,” katanya.
Saat ini, Agus masih menjalani serangkaian persidangan di Pengadilan Distrik Mataram (PN). Ia dituduh melanggar Pasal 6 Surat A dan/atau Pasal 6 Surat C Jo Pasal 15 Paragraf 1 Surat Pidana Seksual Undang -Undang Pidana Sebagaimana diatur dalam Hukum Nomor 12 tahun 2022.
Jika terbukti bersalah, pria dengan Bobese terancam oleh hukuman penjara 12 tahun dan denda maksimum RP. 300 juta. Iwas dilaporkan oleh seorang siswa dengan awal MA kepada polisi distrik NTB karena dugaan pelecehan seksual.
Setelah dinobatkan sebagai tersangka, beberapa pengakuan datang dari korban lain. Secara total, ada 15 orang yang dikatakan sebagai korban gangguan oleh pria.
Tradisi belati dalam kebiasaan Bali
Prosesi pernikahan Agus dikenal di Bali Bea Cukai sebagai Natal, yang merupakan pernikahan di mana pengantin pria digantikan oleh Natal. Tradisi ini biasanya dilakukan dalam situasi tertentu, seperti ketika pengantin pria mati atau tidak dapat hadir karena suatu alasan.
Mengumpulkan Jurnal Universitas Warmadewa, komunitas Bali Hindu menafsirkan Natal sebagai simbol seorang pria atau semangat pria. Oleh karena itu, Natal dianggap digantikan secara hukum oleh peran pengantin wanita dalam March Pernikahan.
Dagger dianggap sebagai simbol kekuatan kekuatan atau kekuatan Purusa. Parade ini valid jika memenuhi kebiasaan dan kepercayaan agama Hindu.
Ketua Provinsi Bali, Nyoman Nakak, mengkonfirmasi keberadaan praktik ini. Dia menghadapi kasus yang sama ketika pengantin pria bekerja di luar negeri dan tidak dapat menghadiri acara tersebut.
Nyak mengatakan acara itu dimulai dengan pembelaan untuk menghilangkan kotoran internal agar tidak menyebabkan gangguan noetis di desa. Parade ini juga memberikan kepastian hukum dan perlindungan khusus bagi perempuan.
“Kita perlu memberikan perlindungan kepada wanita, tidak mengizinkan diskriminasi lagi, seperti menikahi wanita dengan belati,” katanya sebentar.
Menurutnya, dalam situasi yang mendesak, solusinya dapat dicapai melalui upacara sederhana yang disepakati oleh para penatua tradisional setempat.
Baca lebih lanjut tentang Di Sini.
(Isn/isn)