Jakarta, Pahami.id —
Presiden Amerika Serikat Joe Biden berikan “lampu hijau” kepada Ukraina menggunakan rudal jarak jauh buatan AS untuk menyerang Rusia.
Keputusan tersebut diambil pada saat kritis bagi Ukraina karena perang Rusia vs Ukraina telah berlangsung selama hampir 1.000 hari.
Keputusan Biden juga diambil karena Rusia diduga menerima bala bantuan dari Korea Utara, yang mengerahkan ribuan tentara Pyongyang untuk membantu Moskow merebut Kursk. Kursk adalah wilayah selatan Rusia tempat Ukraina melancarkan serangan balik mendadak pada musim panas lalu.
Jika dipikir-pikir, membiarkan Ukraina menggunakan rudal jarak jauh AS sebenarnya sangat berbahaya bagi dinamika perang.
Pasalnya, Presiden Rusia Vladimir Putin telah lama memperingatkan bahwa penggunaan senjata atau rudal jarak jauh Ukraina dari Barat berarti memperluas perang antara Rusia dan Barat.
Pada Juni 2022, Putin berang ketika negara-negara Barat mulai mengirimkan berbagai peralatan perang ke Ukraina. Pada saat itu dia memperingatkan bahwa dia akan menyerang sasaran baru jika Barat mulai memasok rudal jarak jauh ke Ukraina.
Pada bulan September 2024, Putin mengeluarkan peringatan yang lebih keras sebagai tanggapan terhadap pertimbangan AS dan Inggris untuk mengizinkan Ukraina menggunakan rudal jarak jauh mereka dalam perangnya dengan Rusia.
Putin mengatakan sikap ini bisa membawa Rusia dan NATO ke dalam perang terbuka.
Artinya negara-negara anggota NATO, Amerika Serikat, dan negara-negara Eropa ingin berperang melawan Rusia, kata Putin kepada awak media, 12 September lalu.
Pada bulan Oktober, Putin kembali memperingatkan negara-negara Barat untuk tidak memasok rudal jarak jauh ke Ukraina. Dia mengatakan Ukraina tidak bisa menangani senjata semacam itu. Hanya para ahli dari negara-negara NATO yang bisa melakukannya.
Oleh karena itu, jika negara-negara Barat mengizinkan Ukraina menggunakan rudal jarak jauh, maka ahli dari negara-negara NATO akan mengoperasikannya, yang dapat disimpulkan sebagai keterlibatan langsung NATO dalam perang Rusia-Ukraina.
“Tentara Ukraina tidak bisa menggunakan senjata (jarak jauh) ini sendirian. Hanya negara-negara khusus di NATO yang bisa melakukannya. Karena mereka punya kemampuan luar angkasa, tidak seperti Ukraina yang tidak punya,” kata Putin.
Desakan Ukraina
Meskipun Rusia telah berulang kali memperingatkan, Ukraina terus mendesak negara-negara Barat untuk memasok rudal jarak jauh ke Kyiv.
Permintaan ini akhirnya dikabulkan oleh beberapa negara Barat yang mulai memasok rudal jarak jauh ke Ukraina. Namun negara-negara Barat tidak mengizinkan Ukraina menggunakannya secara sembarangan.
Negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat, hanya mengizinkan Ukraina menggunakan senjata di wilayah terbatas di perbatasan Rusia-Ukraina.
AS akhirnya memberi lampu hijau
Setelah berulang kali dibujuk oleh Ukraina dan melihat perkembangan perang saat ini, pada bulan November ini AS akhirnya mengizinkan Ukraina menggunakan rudal jarak jauh dalam perangnya dengan Rusia.
Senjata tersebut adalah sistem rudal taktis militer atau ATACMS, sejenis rudal balistik supersonik yang dapat menyerang jauh ke Rusia pada jarak hingga 306 kilometer.
Menurut Institute of War Studies, ada sekitar 250 target militer Rusia dalam jangkauan ATACMS.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky bereaksi terhadap perizinan penggunaan rudal tersebut. Dia mengatakan “kemampuan jangka panjang tentara Ukraina” adalah bagian penting dari “Rencana Kemenangan”.
Di sisi lain, Rusia juga bereaksi terhadap pemberian izin tersebut. Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan langkah tersebut menunjukkan pemerintahan Biden ingin melancarkan perang yang lebih luas di Ukraina.
Peskov mengulangi pernyataan Putin pada bulan September bahwa memberikan izin kepada Ukraina untuk menggunakan senjata AS di wilayah Rusia sama saja dengan perang antara Rusia dan negara-negara NATO.
“Penggunaan rudal jarak jauh oleh Kyiv untuk menyerang wilayah kami dapat diartikan sebagai partisipasi langsung Amerika Serikat dan negara-negara satelitnya dalam permusuhan melawan Rusia, serta perubahan radikal dalam esensi dan sifat konflik,” kata Foreign Foreign Policy. . Juru Bicara Kementerian Maria Zakharova, seperti dikutip media pemerintah TASS.
“Respon Rusia akan memadai dan konkrit dalam kasus ini,” lanjutnya.
(blq/dna)