Berita Koalisi Soroti Minimnya Kepentingan Tersangka dan Korban di RUU KUHAP

by
Berita Koalisi Soroti Minimnya Kepentingan Tersangka dan Korban di RUU KUHAP


Jakarta, Pahami.id

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi KUHAP meminta pemerintah mendengarkan dan mempertimbangkan aspirasinya terkait RUU yang ada dalam buku tersebut Konstitusi Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).

Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana mengatakan, ada beberapa catatan dalam RUU Kuhap, antara lain hak tersangka, korban, dan saksi.

Masukan masyarakat tidak boleh diabaikan atau hanya dijadikan etalase untuk didengarkan, tapi kemudian tidak diperhatikan atau diakomodasi, kata Arif dalam jumpa pers di Jakarta, Minggu (16/11).


“Masukan itu penting dan berharga, dan suatu keharusan nyata “Dari masyarakat sipil, dari masyarakat yang menjadi korban,” ujarnya.

Koalisi ini menyoroti proses rapat Panitia Kerja (Panja) RUU Kuhap yang berlangsung pada 12-13 November 2025. Rapat tersebut dinilai tidak mencakup poin-poin yang telah disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil.

Mereka menilai tidak ada perubahan signifikan pada RUU Kuhap meski beberapa organisasi menghadiri undangan dan memberikan masukan kepada DPR.

“Pembahasan kemarin tidak ada perubahan yang berarti dari apa yang kami sampaikan pada bulan Juli lalu, sehingga kami melihat apa yang terjadi dua hari ini sebenarnya tidak menjawab permasalahan kami, yang terpenting adalah soal penangkapan dan penahanan,” kata peneliti ICJR, Iftitah Sari.

Koalisi mengatakan rancangan aturan tersebut lebih fokus pada aparat penegak hukum, dibandingkan tersangka, korban, dan saksi.

Misalnya, Kombinasi menyoroti poin seperti operasi Pembelian yang menyamar (pembelian yang menyamar) dan pengiriman terkendali (penyerahan dalam pengawasan) yang sebelumnya berada dalam kewenangan penyidikan dan hanya untuk tindak pidana khusus,
yaitu Narkoba.

Dalam rancangan KUHAP, kewenangan tersebut termasuk dalam metode penyidikan, dan dapat digunakan untuk segala jenis tindak pidana, tidak mempunyai batasan dan tidak diawasi oleh hakim.

Kewenangan yang luas tanpa pengawasan ini dinilai berpotensi membuka peluang aparat penegak hukum melakukan tindak pidana dan memanipulasi siapa pelakunya.

Kombinasi tersebut juga menyoroti kerentanan warga negara untuk ditangkap, digeledah, dan dilepaskan tanpa izin hakim.

Pasal 5 KUHAP yang berlaku saat ini membatasi tindakan yang dapat dilakukan pada tahap penyidikan, dan penangkapan sama sekali tidak diperbolehkan.

Sedangkan Pasal 5 Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana Mengatur bahwa pada tahap penyidikan dapat dilakukan penangkapan, pelarangan keluar rumah, penggeledahan bahkan penahanan, meskipun pada tahap ini belum disahkannya KUHP.

Contoh lainnya adalah upaya penggeledahan, penyitaan, dan penindasan secara paksa dapat dilakukan tanpa izin pengadilan atas dasar keadaan darurat berdasarkan penilaian subjektif dari pihak yang berwenang.

RUU KUHAP juga memberikan kewenangan kepada penyidik ​​untuk melakukan penyadapan tanpa izin hakim yang dianggap mengancam ruang pribadi masyarakat.

Arif mengatakan, reformasi UU Kuhap mengisi kekosongan undang-undang sebelumnya, termasuk menjamin hak asasi manusia dan menjamin keadilan bagi korban, tersangka, dan saksi.

(lom/dhf)