Jakarta, Pahami.id —
Jaringan Masyarakat Sipil untuk Kebijakan Adil Gender menyerukan RUU tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPT) segera disetujui DPR dan pemerintah. Sebab, RUU ini sudah mangkrak selama 20 tahun.
Perwakilan jaringan masyarakat sipil, Jumisih mengatakan, sejak disahkan menjadi RUU Inisiatif DPR pada 21 Maret 2023, hingga saat ini RUU tersebut belum mendapat jadwal pembahasan antara pemerintah dan DPR.
“Saya menghimbau kepada Ketua DPR RI Puan Maharani untuk tidak menunda-nunda RUU PPRT dan segera menyetujui RUU PPRT pada masa kerja DPR RI periode 2019-2024,” kata Jumisih, salah satu tokoh masyarakat sipil. perwakilan, Senin (22/7).
RUU tersebut akhirnya disahkan sebagai usulan inisiatif DPR pada 21 Maret 2023. Namun hingga saat ini belum ada jadwal pembahasan antara DPR dan pemerintah. Jaringan masyarakat sipil juga mempertanyakan keberpihakan Puan terhadap komunitas kecil.
Menurut Jumisih, Puan harus sejalan dengan ajaran Presiden pertama Indonesia Sukarno dalam bukunya yang berjudul “Sarinah”. Dalam buku tersebut, Sukarno mengajak masyarakat untuk menghormati rakyat kecil.
Buku tersebut diambil dari nama pengasuh Ir.Soekarno. Sarinah dianggap sebagai sosok yang memberi kasih sayang dan mengajarkannya untuk mencintai rakyat kecil. Pentingnya peran pembantu tergambar jelas dalam kisah Soekarno dan Sarinah.
“Cik Puan Maharani harus punya pembantu. Apakah dia memihak dan peduli terhadap pembantunya? Kami ingin mempertanyakan hal ini. Padahal, mereka dipilih untuk mewakili kepentingan rakyat dan pembantu itu adalah rakyat itu sendiri,” kata Jumisih.
“Kalau Bu Puan dan anggota DPR masih peduli rakyat, maka jangan sandera RUU PPTT. Segera bahas dan disahkan. Karena tidak ada alasan untuk terus menundanya,” imbuhnya.
Jumisih menilai perlindungan PRT merupakan persoalan yang sangat mendesak. Pekerja rumah tangga merupakan kelompok yang rentan terhadap eksploitasi, diskriminasi, kekerasan dan perbudakan modern. Sebab, PRT tidak diakui negara sebagai pekerja.
“Sehingga pembantu rumah tangga tidak bisa menikmati haknya dan mendapatkan perlindungan,” ujarnya.
Jumisih mengatakan, PRT di Indonesia yang mayoritas perempuan masih bekerja pada situasi kerja yang tidak layak. Misalnya, sebagian besar pekerja rumah tangga bekerja 16 jam/hari.
Selain itu, ia mengungkapkan bahwa PRT juga sangat rentan menjadi korban kekerasan. Jaringan Advokasi Pekerja Rumah Tangga Nasional (JALA PRT) mencatat pada periode 2017-2022 terdapat sekitar 3.635 kasus berbagai kekerasan yang berakibat fatal, 2.031 kasus kekerasan fisik dan psikis, serta 1.609 kasus kekerasan ekonomi.
Kekerasan terhadap PRT bermula dari belum adanya RUU PPRT yang diharapkan dapat memberikan payung hukum bagi perlindungan PRT. Menunda pengesahan RUU PPRT akan menambah daftar panjang kekerasan yang dialami PRT di berbagai negara. wilayah di Indonesia,” jelasnya.
Sehubungan dengan itu, jaringan masyarakat sipil juga mengajak seluruh elemen jaringan masyarakat untuk terlibat dalam aksi mendorong pengesahan RUU PPTT pada 15 Agustus 2024.
RUU PPTT pertama kali didorong untuk dibahas pada tahun 2004, namun hingga saat ini pembahasan dan pengesahannya masih belum jelas.
Sejak tahun 2004, RUU PPTT masuk dan keluar dari daftar Prolegnas DPR. Saat ini, PRT tengah menunggu payung hukum yang melindungi mereka dari segala bentuk kekerasan, penyiksaan dan perbudakan modern yang terjadi saat ini.
(ya Tidak)