Jakarta, Pahami.id –
Asosiasi Pemilu dan Demokrasi (Baru), Kombinasi wanita Indonesia, dan teman -teman (DKK) menggugat nomor hukum 17 tahun 2014 di MPR, DPR, DPD, dan DPRD (Hukum MD3) terkait dengan kekurangan perwakilan perempuan di Dewan Kepemimpinan (AKD).
Dalam sesi kontinu nomor kasus 169/PUU-XXII/2024 Pemerintah juga memberikan informasi untuk menanggapi klaim DKK pada hari Selasa (6/24).
Dalam sidang, sebagaimana disebutkan dari situs web Pengadilan Konstitusi, pernyataan pemerintah diwakili oleh staf Menteri Dalam Negeri, Rochayati Basra.
Rochayati menjelaskan bahwa Indonesia adalah aturan hukum untuk memastikan perlindungan hak asasi manusia (HAM), termasuk upaya untuk meningkatkan perwakilan perempuan di parlemen melalui kebijakan afirmatif 30 persen.
“Kebijakan afirmatif ini adalah perlakuan konstitusional khusus, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 paragraf (1) dan Pasal 28h paragraf (2) Konstitusi 1945, serta implementasi Konvensi Hak Asasi Manusia Internasional yang telah disertifikasi oleh Indonesia,” kata Rochayati dalam persidangan yang dipimpin oleh wakil ketua ISRA.
Namun, ia menekankan bahwa kebijakan afirmatif tidak dapat bertentangan dengan prinsip -prinsip kedaulatan orang yang merupakan dasar dari negara -negara demokratis. Atas dasar itu, ia mengatakan bahwa pemerintah melihat bahwa kantor kantor bersifat internal dan proporsional dengan klan, tidak dimaksudkan untuk mencegah perwakilan perempuan.
Rochayati mengatakan ketentuan undang -undang MD3 memberikan kebebasan klan dalam menentukan kepemimpinan berdasarkan prinsip -prinsip meritokrasi berdasarkan efisiensi dan integritas, jadi tidak hanya berdasarkan gender. Dia juga menyinggung bahwa jika Undang -Undang itu diimplementasikan dengan kuat sampai Formasi AKD, itu akan menyulitkan ketika kuota 30 persen di DPR belum terpenuhi.
“Jika kuota 30 persen diimplementasikan secara ketat, meskipun jumlah anggota perempuan di DPR belum mencapai jumlah itu, itu akan menyebabkan kesulitan dalam implementasinya. Oleh karena itu, yang terbaik adalah jika peraturan kuota perempuan diatur dalam undang -undang umum, seperti undang -undang pemilu atau undang -undang partai politik,” katanya.
Dia menekankan bahwa tidak adanya klausul perwakilan perempuan dalam undang -undang MD3 tidak berarti kesempatan untuk menutup perempuan untuk menjadi pemimpin di rumah. Sebaliknya, ini membuka ruang yang lebih luas berdasarkan kemampuan dan kualitas individu.
Peran partai politik
Rochayati menekankan bahwa pemerintah mengevaluasi bahwa peningkatan perwakilan perempuan di DPR lebih efektif dengan memperkuat peran partai politik dalam menyediakan kader perempuan yang kompeten. Dia mengatakan jika itu hanya bergantung pada kuota yang dianggap tidak memadai untuk membawa perubahan politik substantif.
“Perempuan harus dipersiapkan secara serius melalui pendidikan politik dan kepemimpinan sehingga mereka tidak hanya simbolis, tetapi juga mempengaruhi arah kebijakan,” kata Rochayati.
Kasus Nomor 169/PUU-XXII/2024 telah diajukan oleh beberapa organisasi dan individu yaitu kombinasi wanita Indonesia, Multi, Kalyanamitra, dan pemilihan Titi Anglaini.
“Kami menguji Konstitusi Pasal 90 paragraf (2), Pasal 96 paragraf (2), Pasal 108 paragraf (3), Pasal 120 paragraf (1), Pasal 151 paragraf (2) dan Pasal 157 paragraf (1) (10/12).
Pelamar mengungkapkan hak konstitusional mereka untuk menjadi kurang beruntung, terutama dalam hal perwakilan perempuan dalam badan legislatif. Pelamar menekankan perwakilan jangka rendah dalam kepemimpinan Dewan Ketentuan (AKD) yang tidak mencapai 30 persen pada 2024-2029.
Dalam permintaan ini, para pemohon menghadirkan dua masalah utama, yaitu aturan perwakilan perempuan dalam kepemimpinan dan distribusi anggota perempuan secara proporsional sesuai dengan jumlah anggota perempuan di setiap faksi.
Pelamar juga menyarankan bahwa alokasi ditafsirkan untuk menciptakan keseimbangan dalam komposisi anggota perempuan di berbagai badan dan komisi di DPR, seperti lembaga diskusi, lembaga hukum, dan lembaga anggaran, dengan representasi minimum 30 persen.
Menurut pemohon, ketidakseimbangan ini mencerminkan adanya hambatan struktural yang mencegah partisipasi perempuan dalam politik. Pelamar berharap bahwa Mahkamah Konstitusi dapat menyatakan beberapa artikel yang diuji terhadap Konstitusi 1945 dan mensyaratkan interpretasi yang menjamin perwakilan perempuan dalam struktur parlemen.
(Anak -anak/gil)