Berita Kemdiktisaintek Rilis Cetak Biru Inklusi Disabilitas di Universitas

by


Jakarta, Pahami.id

Kementerian Pendidikan Tinggi, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Kemdiktisaintek) melalui Sosialisasi Metrik Partisipasi Penyandang Disabilitas menekankan keyakinan bahwa kampus yang inklusif dan ramah terhadap penyandang disabilitas merupakan sebuah keniscayaan dalam praktik rutin kegiatan di kampus.

Hal tersebut disampaikan Direktur Belmawa Beny Bandanadjaja di Universitas Pradita, Tangerang pada Rabu (25/17).

“Dikti mempunyai motto untuk meningkatkan akses, kualitas, relevansi dan dampak, dimana akses berarti memberikan kesempatan kepada semua pihak termasuk penyandang disabilitas. Jadi kegiatan ini merupakan upaya peningkatan akses terhadap mahasiswa difabel untuk meningkatkan pelayanan kemahasiswaan.” kata Beny Bandanadjaja.


Data Susenas (2018) menunjukkan 2,8 persen penyandang disabilitas telah menyelesaikan pendidikan tinggi. Hingga saat ini wacana mengenai kampus inklusif seringkali hanya berhenti pada tataran normatif.

Faktanya, tantangan nyata di lapangan masih beragam, mulai dari keterbatasan akses fisik, layanan akademik yang belum adaptif, hingga kebijakan kelembagaan yang belum sepenuhnya mendukung kebutuhan penyandang disabilitas. Beny mengatakan hal ini memerlukan pendekatan yang lebih sistematis dan terukur.

Salah satunya melalui pengembangan Metrik Penerimaan Penyandang Disabilitas oleh Universitas Negeri Surabaya (UDIM). Instrumen ini dirancang sebagai alat ukur komprehensif untuk menilai sejauh mana perguruan tinggi telah menerapkan prinsip inklusi disabilitas secara sistematis dan berkelanjutan.

Inisiatif ini sejalan dengan komitmen nasional dan global dalam implementasi UN-CRPD, dan merupakan bentuk implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak.

“Unesa Dimetric (UDIM) dikembangkan berdasarkan kesadaran akan pentingnya aksesibilitas terhadap lingkungan fisik, sosial, ekonomi, dan budaya, serta akses terhadap kesehatan, pendidikan, informasi dan komunikasi, sebagai prasyarat utama bagi penyandang disabilitas untuk dapat menikmati sepenuhnya seluruh hak asasi manusia dan kebebasan mendasar. Oleh karena itu, diperlukan instrumen pengukuran yang universal dan obyektif,” jelas Prof Bay.

Metrik Inklusi Penyandang Disabilitas mencakup berbagai aspek strategis, antara lain kebijakan dan tata kelola kelembagaan, ketersediaan dan aksesibilitas sarana dan prasarana, layanan akademik dan non-akademik, kesiapan dan kapasitas sumber daya manusia, hingga penyelenggaraan tridharma perguruan tinggi yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, yang berwawasan inklusif.

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Teknologi Khairul Munadi menegaskan inklusi bukan lagi sebuah pilihan, melainkan sebuah kebutuhan bagi seluruh perguruan tinggi di Indonesia.

“Kampus adalah rumah bersama yang menjunjung tinggi prinsip kesetaraan. Untuk menjamin hal tersebut, mulai tahun 2026 seluruh perguruan tinggi di Indonesia wajib menyediakan lingkungan belajar yang ramah dan inklusif bagi penyandang disabilitas,” ujar Dirjen Pendidikan Tinggi Khairul Munadi.

Ia menambahkan, kehadiran Metrik Inklusi Disabilitas merupakan instrumen penting untuk memastikan komitmen tersebut dapat dilaksanakan secara nyata dan terukur. Dengan metrik tersebut, perguruan tinggi diharapkan mampu memetakan kondisi yang ada, mengidentifikasi kesenjangan layanan, dan menyusun langkah-langkah strategis yang relevan dengan kebutuhan mahasiswa dan akademisi penyandang disabilitas.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Komnas Penyandang Disabilitas Dante Rigmalia selaku peserta sosialisasi menyampaikan apresiasi kepada Kementerian Pendidikan dan Teknologi yang telah memberikan perhatian terhadap penyandang disabilitas Dikti.

“Kami sangat senang saat ini pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Teknologi mulai meningkatkan perhatian dalam regulasinya untuk meningkatkan pelayanan bagi penyandang disabilitas di perguruan tinggi,” kata Dante Rigmalia.

Diseminasi Metrik Inklusi Disabilitas adalah proses pelaporan data dan hasil pengukuran terkait keterlibatan penyandang disabilitas dalam berbagai aspek kegiatan masyarakat, organisasi atau program. Tujuan utamanya adalah mengkomunikasikan temuan-temuan dalam metrik ini kepada para pemangku kepentingan untuk meningkatkan kesadaran, mendorong akuntabilitas, dan menginformasikan tindakan untuk meningkatkan praktik inklusi.

Siaran ini juga menghadirkan pemaparan dari Komisi Nasional Penyandang Disabilitas (KND), serta tim pengembang Metrik Inklusi Disabilitas dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Keduanya menggarisbawahi pentingnya cetak biru pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas, termasuk konsep dan indikator metrik inklusi, serta teknis pengisian dan penggunaan instrumen oleh universitas.

Kerangka kampus inklusif berangkat dari arah kebijakan nasional yang menempatkan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas sebagai bagian dari sistem pendidikan. Melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, serta penguatan kebijakan melalui Permendikbudristek No. 48 Tahun 2023 dan Permendikbudristek No.55 tahun 2024.

Hal ini juga sejalan dengan komitmen Indonesia terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya Tujuan 4 Pendidikan Berkualitas dan Tujuan 10 Mengurangi Ketimpangan. Pendidikan tinggi inklusif diyakini menjadi landasan penting dalam membangun sumber daya manusia yang unggul dan berkeadilan.

(rea/rir)