Jakarta, Pahami.id —
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (Komisi Pemberantasan Korupsi) periode 2015-2019 Laode Muhammad Syarif menilik kasus dugaan korupsi yang melibatkan mantan Bupati Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, Aswad Sulaimantidak ada gunanya menghentikan lembaga antikorupsi tersebut.
“Kasusnya tidak layak untuk diterbitkan SP3 [surat perintah penghentian penyidikan] karena persoalan sumber daya alam sangat penting dan kerugian negara sangat besar,” kata Laode, Minggu (28/12) seperti dikutip dari di antara.
Sebelumnya, pada masa kepemimpinan Laode dkk, KPK menetapkan Aswad Sulaiman sebagai tersangka dugaan korupsi terkait pemberian izin pertambangan nikel di wilayah Kabupaten Konawe Utara pada Oktober 2017. Aswad diduga menimbulkan kerugian keuangan negara hingga Rp 2,7 triliun yang seluruhnya merupakan hasil penjualan nikel yang seluruhnya dihibahkan. melawan hukum.
Laode mengatakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada masa kepemimpinannya telah menemukan cukup bukti atas dugaan korupsi tersebut, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI sedang menghitung besaran kerugian keuangan negara.
“Jika tersangka ditetapkan, maka ada cukup bukti adanya korupsi,” kata Laode.
“Penyidik bilang BPK sedang menghitung ulang,” imbuhnya.
Oleh karena itu, dia melihat ada yang janggal ketika KPK kini menghentikan penyidikan kasus tersebut dengan alasan tidak cukup bukti.
Makanya aneh kalau KPK kini berhenti mengusut kasus ini, ujarnya.
Sementara itu, ia mengatakan jika BPK RI enggan menghitung kerugian negara akibat kasus ini, maka KPK seharusnya bisa melanjutkan dugaan korupsi yang dilontarkan Aswad Sulaiman.
“Jika BPK enggan menghitung kerugian finansial atau ekonomi negara, maka KPK bisa saja melanjutkan perkara korupsinya,” ujarnya.
Sebelumnya, pada 4 Oktober 2017, KPK menetapkan Aswad Sulaiman sebagai Pj Bupati Konawe Utara periode 2007-2009 dan Bupati Konawe Utara periode 2011-2016 sebagai tersangka dugaan korupsi terkait pemberian izin operasi eksplorasi dan pertambangan di Konawe Utara sebagai izin operasi penambangan dan eksploitasi pertambangan. Pemerintahan tahun 2007-2014.
Indikasinya, kerugian negara sedikitnya Rp 2,7 triliun yang diakibatkan oleh penjualan produksi nikel yang diduga diperoleh dari perizinan ilegal, kata Saut Situmorang selaku Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi saat itu dalam jumpa pers, 3 Oktober 2017.
Aswad selaku pejabat Bupati Konawe Utara pada tahun 2007-2009 dan 2011-2016 menerbitkan izin eksplorasi dan eksploitasi pertambangan serta izin usaha operasi produksi kepada beberapa perusahaan pada tahun 2007 hingga 2014.
Selain diduga menimbulkan kerugian negara hingga Rp2,7 triliun, Aswad juga diduga menerima suap sebesar Rp13 miliar dari beberapa perusahaan terkait pertambangan nikel selama 2007-2009.
“Dia diduga menerima uang sebesar Rp 13 miliar dari sejumlah perusahaan yang mengajukan izin pertambangan ke Pemkab Konawe Utara,” kata Saut.
Dalam kasus dugaan suap ini, Aswad disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor dan Pasal 55 ayat (1) KUHP.
Kabupaten Konawe Utara sendiri terkenal dengan pertambangan nikelnya. Wilayah ini merupakan penghasil nikel terbesar di Sultra.
Sejumlah perusahaan yang mengekstraksi nikel di kawasan itu antara lain PT Unaaha Bakti, Konawe Nickel Nusantara (KNN), Bososi Pratama Nickel, Bumi Karya Utama (BKU), Dwi Multi Guna Sejahtera (DMS).
Kemudian Tristako, Singa Raja, PT Kimko, PT Seicho, PT Duta, PT Masempo Dalle, CV Eka Sari Indah, PT Titisan Berkah, PT CDS, PT MPM, PT Konawe Bumi Nunsantara (KB), dan PT Surya Tenggara.
Pada 14 September 2023, KPK berencana menangkap Aswad Sulaiman. Namun, hal itu dibatalkan karena orang yang terlibat dilarikan ke rumah sakit.
Kemudian pada 26 Desember 2025, Komite Pemberantasan Korupsi mengumumkan penghentian penyidikan kasus tersebut karena tidak menemukan cukup bukti.
Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Budi Prasetyo mengatakan, penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau SP3 dalam kasus Aswad dilakukan karena tidak ditemukan cukup bukti dan kasus korupsi telah berakhir.
Penerbitan SP3 oleh KPK sudah tepat karena dalam proses penyidikan tidak cukup bukti, Pasal 2, Pasal 3 yang menjadi permasalahan penghitungan kerugian keuangan negara, ujarnya dalam keterangan tertulis, Minggu.
Lalu, tanggal persidangan perkara ini yang sudah pada tahun 2009 juga terkait dengan berakhirnya perkara yang berkaitan dengan pasal tipikor tersebut, tambah Budi.
Budi menjelaskan, penerbitan SP3 juga dilakukan untuk memberikan kejelasan dan kepastian hukum kepada pihak-pihak terkait, karena setiap proses hukum harus sesuai dengan norma hukum.
Meski demikian, kata dia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetap terbuka kepada masyarakat yang mempunyai informasi baru terkait kasus tersebut.
“Kami terbuka, jika masyarakat mempunyai informasi baru terkait kasus ini, kami bisa meneruskannya ke KPK,” ujarnya.
(antara/anak-anak)

