Jakarta, Pahami.id —
Pengawasan Korupsi Indonesia (ICW) desak pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi terpilih untuk masa jabatan 2024-2029, mengundurkan diri dari lembaga aslinya. Hal ini untuk menghindari loyalitas ganda ketika nantinya bekerja di lembaga antirasuah.
ICW menghimbau agar pimpinan KPK terpilih yang berasal dari penegak hukum tidak hanya mengundurkan diri, tetapi juga mengundurkan diri dari instansi aslinya termasuk kepolisian, kejaksaan, dan Mahkamah Agung, kata Peneliti ICW Diky Anandya dalam siaran persnya, Kamis (21/8). 11).
Empat dari lima Pimpinan KPK periode berikutnya yang dilantik Komisi III DPR RI hari ini didominasi oleh aparat penegak hukum, baik yang aktif maupun pensiun.
Mereka adalah Komjen Polisi Setyo Budiyanto, Fungsional Jaksa Agung Jampidsus Fitroh Rohcahyanto, mantan Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agus Joko Pramono, Hakim Pengadilan Tinggi Manado Ibnu Basuki Widodo, dan petahana Johanis Tanak.
“Jika mereka hanya mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf i UU KPK, bukan tidak mungkin mereka mempunyai dua loyalitas. Alhasil, setiap tindakan yang mereka lakukan akan berpihak pada kepentingan awal. institusi,” kata Diky.
Diky kemudian menyinggung pasal 11 ayat (1) huruf a UU KPK yang menjelaskan salah satu subjek proses hukum di KPK adalah aparat penegak hukum.
“Pertanyaan reflektif yang muncul adalah apakah pimpinan dapat bertindak obyektif dan adil jika ke depan Komisi Pemberantasan Korupsi mengusut dugaan tindak pidana korupsi di lembaga aslinya?” dia menambahkan.
Menurut Diky, lima pimpinan KPK yang ditunjuk Komisi III DPR tidak sesuai harapan masyarakat. Ia menilai kepemimpinan KPK periode berikutnya tidak akan memperbaiki tata kelola lembaga tersebut untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat.
Argumen tersebut, kata Diky, bukan tanpa alasan jika melihat beberapa persoalan dalam penentuan pimpinan KPK. Artinya, pemilihan tokoh bukan berdasarkan kompetensi dan rekam jejak calon, melainkan hanya berdasarkan penilaian subyektif dan selera anggota komisi hukum DPR.
“Sinyal ini sudah bisa diprediksi pada saat proses uji kelayakan (due diligence) dimana pertanyaan terbanyak adalah melihat pandangan calon terkait revisi UU KPK tahun 2019 dan mekanisme penegakan hukum yang dilakukan KPK melalui Penangkapan Tangan. Cara Operasi (OTT),” kata Diky.
Mudah ditebak, Pimpinan KPK terpilih adalah calon yang jawabannya sangat bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi, misalnya Setyo dan Agus mengatakan KPK tetap perlu menerapkan OTT, namun perlu dibatasi dan diseleksi. Paling buruk. Yang terpenting, Tanak jelas berjanji akan menghilangkan OTT jika terpilih kembali menjadi pemimpin,” lanjutnya.
Diky kemudian menyoroti aspek kompetensi beberapa calon terpilih yang diragukan.
Misalnya, kata Fitroh, revisi UU KPK pada tahun 2019 tidak berpengaruh terhadap upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. Begitu pula Ibnu yang dengan lantang menyatakan bahwa revisi UU KPK tidak melemahkan KPK secara institusi,” ujarnya.
Bahkan menariknya, dia mencontohkan soal penyadapan yang disebut-sebut dilakukan atas izin Dewan Pengawas (Dewas) terlebih dahulu. Dalam konteks itu, Ibnu tidak paham dan terkesan hanya bicara saja. Sebab, pihak yang berwenang Dewa memberikan izin penyadapan telah dicabut melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor “70/PUU-XVII/2019 yang telah berakhir pada tahun 2021,” lanjut Diky.
(ryn/tidak)