Berita Gubernur Kalsel Gugat UU Pilkada ke MK, Tolak Pelantikan Serentak

by


Jakarta, Pahami.id

Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor menyampaikan kajian materi pasal 201 ayat (7) UU Pilkada kepada Mahkamah Konstitusi (MK).

Sahbirin meminta Mahkamah Konstitusi mengatur agar pengangkatan bupati hasil Pilkada 2024 tidak dilaksanakan secara serentak.

Sahbirin mempertanyakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XXII/2024 yang menjadikan Pasal 201 ayat (7) berbunyi “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota Hasil Pemilu Tahun 2020 ditahan. menjabat sampai dengan Gubernur dan Wakil Gubernur diangkat “Gubernur, Bupati, dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota sejak Pemilihan Umum Serentak Tahun 2024 dengan masa jabatan paling lama 5 (lima) tahun.”


Ia meyakini berdasarkan ketentuan, pasti masih ada bupati termasuk gubernur, bupati, dan wali kota yang masa jabatannya kurang dari lima tahun.

Kuasa hukum pemohon, Ade Yan Yan Hasbullah, juga menyebut hak konstitusional kliennya telah dilanggar.

Ketentuan ini merugikan konstitusionalitas Pemohon I dan Pemohon II yang baru dilantik pada 24 Agustus 2021. Berdasarkan Pasal 162 ayat (1) UU Pilkada, Gubernur dan Wakil Gubernur harus menjabat selama 5 (lima) tahun. lima) tahun sejak tanggal pengangkatan, dengan demikian “Pemohon I, berdasarkan Pasal 162 ayat (1) UU Pemilihan Bupati, jabatan Pemohon harus selama 5 tahun sejak pengangkatan dan harus memangku jabatan sampai dengan bulan Agustus 2026, kata Ade dalam sidang pemeriksaan dini di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Senin (1/7).

Ade mengatakan, Pilkada Serentak 2024 tidak serta merta mengurangi hak konstitusional para pemohon.

“Pemilihan Bupati Serentak dilakukan dalam rangka efisiensi anggaran, dan hal tersebut tetap dapat dilakukan tanpa harus menghilangkan hak konstitusional yang seharusnya diberikan kepada Pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. .

Dalam berkas permohonannya, pemohon menyatakan alasan permohonan tersebut terkait dengan pengukuhan hasil Pilkada Serentak 2024.

Pemohon menilai hal tersebut tentu akan merugikan konstitusi Sahbirin. Selain itu juga memperhatikan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan pemerintah pusat.

Sebab, Pemohon menilai hal tersebut pasti dilakukan dan akan selalu menjadi permasalahan yang harus diselesaikan oleh pemerintah pusat dan daerah dengan diterapkannya otonomi daerah dalam kehidupan negara demokratis.

“Kami mohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang terhormat agar pengangkatan serentak tidak dilakukan terlebih dahulu agar Pemohon I (red, Sahbirin) dapat menyelesaikan masa jabatannya yang 5 tahun, baru setelah bupati terpilih berdasarkan Pemilu Serentak tersebut. lengkap. jangka waktu 5 tahun dan daerah dipegang oleh Kantor Sementara dan diadakan kembali pemilihan umum serentak berikutnya, maka pada saat itu dapat dilaksanakan pemilihan Bupati serentak dan pengangkatan serentak, sehingga hak-hak sebagai warga negara sebagaimana diatur . dalam Pasal 28D UUD 1945 dapat terwujud,” jelas pemohon dalam berkas permohonannya.

Oleh karena itu, pemohon pun meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 201 ayat (7) UU Pilkada bertentangan dengan ketentuan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dalam petitumnya, Pemohon menyatakan ingin pasalnya diubah sehingga berbunyi: “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilu 2020 akan menjabat sepanjang masa jabatannya.” Masa jabatannya paling lama 5 (lima) tahun.

Majelis hakim yang hadir dalam sidang ini adalah Wakil Ketua Saldi Isra dengan didampingi Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dan Hakim Konstitusi Arsul Sani.

Para juri pun menjawab permintaan yang diajukan.

Ridwan menyoroti kedudukan hukum pemohon yang hanya menjelaskan kerugian konstitusional pemohon I, namun tidak menjelaskan kerugian pemohon II dan pemohon III.

Menurut Ridwan, pemohon perlu menjelaskan hubungan antara pemohon II sebagai warga negara yang berprofesi sebagai PNS dan pemohon III sebagai pelajar dengan penerapan pasal yang diujikan.

Saldi juga menilai kerugian konstitusional pemohon tidak dijelaskan pada bagian hukum.

“Menjelaskan hilangnya konstitusi juga menggunakan contoh Provinsi Lampung tahun berapa kejadiannya? lebih mudah. ​​akan digunakan,” kata Saldi.

Pelamar diberikan waktu 14 hari kerja untuk memperbaiki permohonannya. Peninjauan kembali permohonan tersebut akan diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi paling lambat Senin (15/7) pukul 09.00 WIB.

(pop/fra)