Jakarta, Pahami.id —
Gelombang kritik mulai muncul setelah DPR RI mengutarakan niatnya untuk mengevaluasi kewenangannya Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia mengatakan, wacana tersebut muncul karena Mahkamah Konstitusi dinilai telah melampaui kewenangannya.
Pusat Penelitian Hukum dan Kebijakan (PSHK) menjadi salah satu lembaga yang menyuarakan kritik. PSHK menilai masyarakat dan Mahkamah Konstitusi harus menentang rencana DPR RI demi menjaga independensi Mahkamah Konstitusi.
“MK dan masyarakat harus siap melakukan perlawanan,” kata peneliti PSHK Violla Reininda CNNIndonesia.com melalui pesan tertulis, Jumat (30/8).
“Jika pengurangan kewenangan konstitusional ini terjadi maka independensi Mahkamah Konstitusi akan semakin terganggu dan Mahkamah Konstitusi tidak dapat menjalankan fungsi konstitusional sebagaimana mestinya,” ujarnya.
Violla kemudian mengatakan, niat DPR tersebut tidak mengherankan. Sebab, belakangan ini Mahkamah Konstitusi kerap membatalkan undang-undang dari DPR dan Presiden setelahnya peninjauan kembali.
Ia juga menilai berbagai putusan MK kerap mengganggu upaya DPR dan Presiden, seperti yang terjadi pada UU Pilkada Provinsi belakangan ini.
“Tidak mengherankan jika DPR menyampaikan hal tersebut, karena sejumlah undang-undang bermasalah yang dikeluarkan DPR dan Presiden cenderung langsung diuji oleh Mahkamah Konstitusi begitu dikukuhkan, kemudian ada pula yang dibatalkan atau dimaknai mempunyai nilai konstitusional. oleh Mahkamah Konstitusi,” kata Violla.
“Dalam tanda kutip, beberapa putusan Mahkamah Konstitusi mengganggu upaya DPR dan Presiden dalam menerapkan otokrasi legalistik,” lanjutnya.
Sementara itu, anggota Asosiasi Hukum Konstitusi dan Administrasi (CALS) Herdiansyah Hamzah ‘Castro’ menduga DPR ingin bergabung dengan MK melalui wacana evaluasi tersebut.
Dia menilai taktik buruk DPR kembali mengemuka pasca keputusan Mahkamah Konstitusi soal ambang batas pencalonan dan syarat usia calon kepala daerah. Castro juga melihat niat tersebut sebagai upaya DPR untuk membalas MK setelah dua keputusan terkait UU Pilkada Provinsi.
Castro juga meminta masyarakat untuk menolak jika wacana ini terus berlanjut di masa depan.
“DP akan berusaha semaksimal mungkin agar MK bisa dikooptasi oleh DPR. Malah mereka lupa, keputusan MK-lah yang memberi ruang bagi demokrasi untuk bertahan di tengah kartel politik,” kata Castro.
“Upaya revisi UU MK merupakan tanda DPR lebih mengutamakan kemauan politik dibandingkan konstruksi pemikiran hukumnya. Itu jelas memalukan. Reaksi ini harus kita lawan,” lanjutnya.
Sementara itu, Doli sebelumnya mendesak agar UU Mahkamah Konstitusi (MK) direvisi sebagai upaya evaluasi sistem pemilu dan konstitusi Indonesia.
Penilaian MK akan dilakukan untuk kebutuhan jangka menengah dan panjang. Doli menilai Mahkamah Konstitusi saat ini telah melampaui kewenangannya dengan mengurusi terlalu banyak hal bahkan di luar wilayah hukumnya.
Lebih lanjut, Doli menilai kuatnya putusan MK menyebabkan sistem hukum di Indonesia menjadi ambigu. Ia merujuk pada sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat, sehingga seolah-olah Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan untuk membuat undang-undang.
“Menurut saya, MK punya terlalu banyak urusan yang sebenarnya bukan urusan MK,” kata Doli dalam diskusi online yang dikutip dari kanal YouTube Gelora TV, Jumat (30/8).
(frl/akhir)