Jakarta, Pahami.id —
Sejumlah pakar hubungan internasional dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia mengkritik pernyataan Menlu Sugiono terkait alasan Indonesia mengikuti forum ekonomi yang dipimpin oleh Rusia–Cina, BRIK.
Sugiono, pekan lalu, menyampaikan Pernyataan Pers Tahunan Menlu (PPTM) di Gedung Nusantara Kementerian Luar Negeri RI, Jakarta Pusat. Beliau membahas tentang arah politik luar negeri dan alasan bergabung dengan BRICS sebagai wujud politik yang mandiri dan aktif.
Kepala Departemen Hubungan Internasional Lina Alexdra mengatakan, penjelasan Menlu di PPTM tidak jelas dan hanya retorika belaka.
“Yang terlihat, ini masih retorika atau substansinya kita belum bisa melihat dengan jelas bagaimana pemerintahan baru memaknai prinsip kebebasan dan aktivitas,” kata Lina dalam diskusi yang digelar CSIS dan disiarkan di YouTubeSenin (13/1).
Ia juga mengatakan banyak kritikus yang menyebut Indonesia telah mengabaikan prinsip kebebasan dan aktivitas.
Sugiono dalam pidatonya pekan lalu menegaskan, bergabungnya Indonesia ke BRICS sebagai wujud politik bebas aktif dan tidak akan meninggalkan prinsip tersebut. Namun Lina merasa penjelasan Menlu kurang jelas.
“Yang bisa kita garis besarkan adalah penjelasan bahwa kebebasan beraktivitas itu prinsip atau tujuan? Dan seringkali yang salah adalah kebebasan beraktivitas dijadikan tujuan,” ujarnya.
Menurut Lina, tujuannya adalah kepentingan nasional yang harus ditetapkan bersama pemangku kepentingan.
Prinsip kebebasan dan aktivitas, lanjutnya, harus menjadi pedoman dalam menentukan arah politik luar negeri, bukan tujuan.
Bagi Lina, prinsip kebebasan adalah Indonesia dapat menentukan pilihan, prioritas, dan arah tindakannya, tanpa dikendalikan atau ditekan oleh kekuatan lain.
“Tetapi, untuk benar-benar bebas menentukan pilihan, hal ini harus didukung oleh kemampuan menganalisis, mengidentifikasi, kepentingan kita, apa yang terjadi di tingkat regional dan global dan bagaimana hal tersebut dapat mempengaruhi kita,” tambahnya.
Lina menyatakan, Indonesia harus punya kemampuan melakukan perhitungan strategis tersebut agar bisa disebut bebas.
Ia juga menambahkan, untuk bisa merdeka, Indonesia harus aktif. Jika Republik Indonesia bergabung dengan organisasi internasional tertentu, pemerintah harus berkontribusi aktif dalam forum tersebut, seperti ikut serta dalam menentukan agenda masa depan dan merumuskan kebijakan.
Dalam konteks BRICS, Lina tidak menemukan penjelasan rinci mengapa Indonesia bergabung dalam forum ekonomi ini.
“Pertanyaannya bukan apakah kita bergabung dengan BRICS atau tidak, tapi apakah ada penjelasan bagus yang mendasari bergabungnya kita dengan organisasi tersebut,” ujarnya.
Senada, peneliti dari departemen CSIC HI, Andrew Mantong, menegaskan prinsip mandiri dan aktif bukanlah tujuan.
“Tidak akan menjadi ukuran yang mutlak karena banyak hal yang terkait dengan kata bebas dan aktif itu bersifat relatif,” ujarnya.
Andrew juga menyatakan bahwa pemerintah harus lebih jelas dalam menjelaskan alasan dan manfaat Indonesia bergabung dengan BRICS.
Selain itu, Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump akan mengenakan tarif impor hingga 100 persen kepada anggota BRICS.
Lina dalam kesempatan itu mengingatkan kesiapan Indonesia menghadapi ancaman tersebut.
Indonesia resmi bergabung dengan BRICS minggu lalu. Sejumlah ahli menilai tujuan RI berpartisipasi dalam forum ini adalah untuk kepentingan ekonomi dan mendekatkan diri dengan China.
Beberapa pengamat juga mengatakan bahwa bergabungnya Indonesia ke BRICS justru akan memicu bipartisan antar kekuatan global.
BRICS dipimpin oleh Rusia-Tiongkok. Kedua negara sangat kompetitif dan memusuhi Amerika Serikat dan sekutunya.
Rusia dan AS, misalnya, terlibat permusuhan setelah Beruang Merah menginvasi Ukraina. Negeri Paman Sam juga berselisih dengan China terkait permasalahan regional di Indo-Pasifik seperti Laut China Selatan dan Taiwan.
(isa/bac)