Rambu jalan vertikal dengan tulisan Jalan HB Alhabsyi Kwitang berdiri tegak di perempatan menghadap Pasar Senen, Jakarta Pusat.
waktu CNNIndonesia.com Berjalan menuju kawasan tersebut dari Jalan Kramat Raya pada Rabu (5/6) sore, Anda bisa melihat beberapa kios yang berjualan buku di trotoar. Meski buku-bukunya terlihat sedikit usang, namun beberapa di antaranya tertutup rapi oleh pedagang yang menjualnya.
“Kemarilah, lihat saja, buku apa yang kamu cari? Novel? Banyak yang baru,” kata salah satu penjual yang mencoba menawarkan buku yang dipajangnya di trotoar.
Selain trotoar, di lokasi tersebut juga terdapat penjual buku yang menempati gedung tersebut. Di gedung tiga lantai yang terlihat seperti toko buku dari luar karena barang-barang yang dipajang di sana.
<!–
/4905536/CNN_desktop/cnn_nasional/static_detail
–>
Buku-buku itu terlihat bertumpuk hampir sampai ke langit-langit, bahkan ada pula yang disimpan di rak kayu.
Itulah kawasan peninggalan pusat buku Kwitang yang legendaris di Jakarta Pusat. Pusat buku yang awalnya dipenuhi lebih banyak pedagang ini telah berdiri sejak tahun 1980-an, dan kemudian diselenggarakan oleh pemerintah pada akhir tahun 2000-an hingga 2010-an.
Pusat buku inilah yang menjadi tempat masyarakat Jakarta – bahkan sekitarnya – mencari buku pada masa jayanya. Kawasan pasar buku Kwitang kemudian semakin terkenal ketika ditampilkan dalam film fenomenal Ada Apa Dengan Cinta (AADC) (2002) dibintangi oleh Nicholas Saputra (Rangga) dan Dian Sastrowardoyo (Cinta).
Kini pedagang asongan dari Kwitang menyebar ke beberapa tempat lain di Jakarta mulai dari Senen hingga Blok M di Jakarta Selatan.
Pedagang melayani masyarakat. yang sedang mencari buku di Kwitang, Jakarta Pusat, Rabu (5/6). (Pahami.id/ Rachel Tesalonika) |
Kwitang dulunya dikenal sebagai legenda, karena tidak hanya menjual buku baru atau bekas, juga menjadi ‘peti harta karun’ bagi mereka yang mencari buku langka. Topik buku yang ditemukan di sana juga sangat beragam, mulai dari politik, sastra, ekonomi, hingga buku anak. Begitu pula dengan latar belakang pengunjung yang berasal dari mahasiswa, dosen, bahkan dari luar negeri.
Namun inilah cerita legenda tentang Kwitang yang kini cukup sepi dibandingkan masa jayanya.
Salah satu pedagang di Kwitang saat ini, Jay (53), mengatakan, saat pemerintah memutuskan untuk mengatur kawasan tersebut, para pedagang yang sudah bertahun-tahun berada di sana terpencar karena pindah atau terlantar.
Ia yang menggeluti bisnis buku sejak tahun 1997 ini menceritakan kenangan masa kejayaan Kwitang, khususnya di tahun ajaran baru.
“Penjualan di tahun ’97 cukup indah, tak terlupakan. Sedemikian rupa sehingga ada film yang dibuat di sini Ada apa dengan cinta,” kenang Jay saat berbicara dengannya CNNIndonesia.com.
“Tahun ’97 sangat gemilang, aku bahkan tidak sempat makan siang. Karena dulu seperti ini, setiap sepulang sekolah, setiap berangkat sekolah, Kelas 1, Kelas 2 mencari buku. Kelas 2 , Kelas 3 nyari buku. Dulunya lulusan yang mau masuk Lepas masuk kuliah setelah magang pasti akan mencari buku, kalau kesini biasanya banyak. [Pembeli datang] dari wilayah Jabodetabek makanya kita masih bertahan,” ujarnya.
‘Banyak yang berubah’ demikian kalimat yang dijelaskan Bang Jay saat diminta membandingkan keadaan 20 tahun lalu dengan saat ini. Meski masih ada pencari buku yang datang ke Kwitang, kata dia, tingkat kepadatannya sudah tidak seperti dulu lagi.
Kalau ada dampak pasti berdampak pada kami, lihat sendiri, pembelinya jarang. Dulu kami ngobrol di sana, ngobrol di sini,” ujarnya, sapaan akrab Bang Jay oleh warga sekitar.
Salah satu ruko yang disewa sejumlah penjual buku di Kwitang, Jakarta Pusat. (Pahami.id/ Rachel Tesalonika) |
Meski tak seperti dulu, Jay mengatakan masih ada pembeli – terutama pelajar – yang datang ke Kwitang untuk mencari buku.
Salah satunya Risa (21), siswi asal Depok yang mengaku datang ke Kwitang untuk mencari buku bekas.
“Iya, aku ingin mencari buku manajemen untuk tugas itu. Tadinya mau ke Jatinegara, tapi tidak jadi ditemukan“Akhirnya sampai juga,” kata Risa.
Wanita itu mengaku sudah mengenal Kwitang sejak lama. Informasi tentang Kwitang juga ia dapatkan dari orang tua dan dosennya.
Di tengah tingginya digitalisasi, dimana literatur digital mudah didapat di dunia maya melalui gawai yang dimiliki, Risa mengaku sengaja mencari buku cetak atau buku fisik.
“Menurutku tetap penting, sekarang online pun masih butuh buku cetak. Terkadang lebih mudah membaca buku cetak daripada membaca buku cetak. on line. Maka Anda tidak perlu menunggu lama jika membelinya [toko online]“Kemarilah, beli, tepat di tanganmu,” jelasnya.
Buka halaman berikutnya.
!function(f,b,e,v,n,t,s){if(f.fbq)return;n=f.fbq=function(){n.callMethod?
n.callMethod.apply(n,arguments):n.queue.push(arguments)};if(!f._fbq)f._fbq=n;
n.push=n;n.loaded=!0;n.version=’2.0′;n.queue=[];t=b.createElement(e);t.async=!0;
t.src=v;s=b.getElementsByTagName(e)[0];s.parentNode.insertBefore(t,s)}(window,
document,’script’,’//connect.facebook.net/en_US/fbevents.js’);
fbq(‘init’, ‘1047303935301449’);
fbq(‘track’, “PageView”);