Berita Banjir Aceh Merenggut Aisha, Pasien Diabetes Tanpa Perawatan

by
Berita Banjir Aceh Merenggut Aisha, Pasien Diabetes Tanpa Perawatan


Jakarta, Pahami.id

Hujan lebat yang jatuh tanpa jeda di penghujung bulan November dan meninggalkan bekas luka yang panjang Aceh Tamiang. Di balik banyaknya korban dan reruntuhan rumah yang tersapu arus, tersimpan kisah pilu seorang perempuan bernama Aisha (63), sebuah kisah yang menyentuh batas kemanusiaan tentang kehilangan, ketidakberdayaan, dan cinta yang tak pernah terekspresikan secara utuh.

Di bawah tenda pengungsi yang lembap dan berbau tanah basah, Muhamad Asan masih duduk termenung. Tatapannya kosong, namun suaranya pecah setiap kali menyebut nama istrinya.

“Tidak, tidak ada,” ujarnya lirih saat ditanya apakah Aisha mendapat perawatan medis selama berada di kamp pengungsi, mengutip Kedua.


Aisha sudah lama menderita penyakit diabetes. Pengobatan adalah bagian dari rutinitas sehari-hari mereka, sebuah rutinitas yang harus terhenti ketika banjir besar melanda rumah mereka. Dalam kepanikan melarikan diri, keluarga tersebut tidak sempat membawa apa pun kecuali pakaian yang ada di badannya.

“Dari awal kami pindah, dia kurang sehat, dia sudah lama mengidap diabetes, jadi dia tidak membawa obatnya ke sini,” ucap Asan pelan, mencoba mengingat hari-hari terakhir istrinya.

Setiap malam, Aisha dikabarkan gelisah. Tubuhnya semakin lemah, napasnya menjadi pendek. Dia berulang kali memohon untuk kembali ke rumah tempat mereka membangun kehidupan bersama selama puluhan tahun.

“Dia minta pulang. Rumahnya sudah tidak ada lagi, sudah hancur,” kata Asan sambil menahan tangis.

Rumah yang dimaksud Aisha sudah tidak terbengkalai lagi. Banjir dan longsor kayu, batu, dan lumpur melanda pemukiman mereka. Yang tersisa hanyalah fondasi yang retak dan kenangan yang terkubur dalam lumpur.

Bagi Aisha, tempat itu mungkin masih berupa rumah, namun bagi Asan, kembali ke sana berarti menghadapi kenyataan pahit bahwa ia tidak bisa melindungi dirinya dari istrinya.

Aisha menghembuskan nafas terakhirnya di pengungsian, jauh dari fasilitas kesehatan yang memadai, jauh dari kenyamanan yang seharusnya melindungi pengungsi. Kepergiannya menambah daftar panjang korban banjir dahsyat yang melanda Aceh, Sumut, dan Sumbar.

Berdasarkan data BNPB pada Minggu (7/12), tercatat 917 orang meninggal dunia, 274 orang dinyatakan hilang, dan 4.200 orang lainnya luka-luka akibat banjir di tiga provinsi. Ratusan ribu warga kini tinggal di tenda darurat di 52 kabupaten/kota.

Aceh menjadi daerah dengan jumlah korban terbanyak dan Aisha menjadi salah satu wajah dari angka tersebut, wajah yang menggambarkan betapa rapuhnya kehidupan manusia di tengah bencana.

Di tengah hiruk pikuk pengungsi yang berusaha bertahan hidup sehari-hari, meninggalnya Aisha menjadi pengingat bahwa bencana bukan hanya soal banjir dan hanyutnya rumah. Bencana juga menimpa mereka yang sakit, mereka yang tidak sempat membawa obat, mereka yang tidak bisa diselamatkan.

Dan bagi Asan, musibah adalah kehilangan seseorang yang sudah puluhan tahun digenggamnya, hanya menghilang tanpa sempat membawanya pulang, karena rumah itu telah hilang bersamanya.

(sels/sel)