Berita Alasan Mengejutkan Gelar Haji Disematkan di Nama Orang RI

by
Berita Alasan Mengejutkan Gelar Haji Disematkan di Nama Orang RI


Jakarta, Pahami.id

Mengkonsumsi judulnya ‘Haji‘Atau’ haji ‘sebelum nama setelah rapat Haji Sepertinya sejarah, budaya untuk akar yang panjang dan kompleks.

Dilaporkan dari halaman resmi Kementerian Agama (Kementerian Agama), filolog dan Menteri Spesialis Agama Oman Fathurahman mengungkapkan bahwa tradisi ini tidak dapat dipisahkan dari konteks sejarah ziarah yang parah bagi rakyat Kepulauan di masa lalu.


Menurut Oman, judul gelar itu legal, melihat perjuangan untuk Tanah Suci tidak mudah. Selain itu, mereka harus berlayar lautan ke padang pasir yang membutuhkan waktu lama.

Atas dasar itu, seseorang yang berhasil melakukan ziarah dan kembali ke rumah dengan aman dianggap telah lulus ujian besar.

Karena, perjalanan bukan hanya ritual agama, tetapi juga pencapaian spiritual dan fisik yang membawa kehormatannya sendiri.

Dari sana, orang -orang mulai menambahkan gelar ‘haji’ atau ‘haji’ di depan nama mereka sebagai bentuk kehormatan untuk pencapaian ibadah.

Tradisi kemudian diperluas secara luas dan menjadi bagian dari budaya Muslim Indonesia.

Namun, Oman mengingatkan bahwa judul tersebut tidak dapat digunakan sebagai simbol kebanggaan atau kebanggaan. Karena, yang paling penting adalah bagaimana seseorang mempertahankan ketulusan dan moral setelah beribadah.

“Salah satu fitur Haji Mabrur adalah menjadi orang yang tulus dan Muhsin (berbuat baik) sepanjang waktu, selalu menyebarkan kedamaian, kapan dan setelah melakukan ziarah,” kata Oman.

Di sisi lain, antropolog Uin Syarif Hidayatullah Jakarta Dadi Darmadi mengatakan fenomena itu bukan hanya orang Indonesia.

Dia mengatakan berbagai daerah Muslim Melayu seperti Malaysia, Singapura, Brunei, ke Thailand Selatan, kebiasaan serupa juga ditemukan.

“Tradisi di Mesir Utara tidak memberikan judul ziarah, tetapi juga menarik rumahnya dengan citra Kaaba dan alat transportasi yang digunakan untuk Mekah,” katanya.

Dadi mengatakan penyebaran gelar haji dapat dipahami dari tiga sudut pandang: agama, budaya, dan penjajah.

Religius, ziarah adalah pilar kelima Islam, dan implementasinya membutuhkan biaya, waktu, dan kondisi yang tidak mudah. Karena itu, bagi sebagian orang, keberhasilan ziarah adalah masalah kebanggaan.

“Karena alasan ini, gelar haji dianggap dipraktikkan dan terus tertanam bagi mereka yang berhasil melakukannya,” kata Dadi.

Terlepas dari budaya, heroik, emosional, dan kadang -kadang dramatis kisah ziarah, ini membantu menciptakan persepsi budaya yang memperkuat pentingnya ibadah ini dalam masyarakat.

Banyak tokoh masyarakat memegang gelar haji, menjadikan judul ini sebagai simbol status sosial.

“Saya pikir hal -hal ini membuat ziarah lebih penting dan judul haji di Indonesia memiliki nilai dan status sosial yang tinggi,” katanya.

Kemudian, dalam perspektif era kolonial, pemerintah kolonial Hindia Belanda pada waktu itu takut bahwa para peziarah akan mempengaruhi para peziarah dalam semangat gerakan anti-kolonial.

Akibatnya, Hindia kolonial kemudian membuka konsulat pertama pada orang -orang Arab pada tahun 1872 untuk mengawasi penyembahan para penyembah dan membutuhkan peziarah untuk menggunakan gelar dan sifat ziarah agar mudah dipantau.

Namun, Dadi mengatakan asumsi itu ditentang oleh Snouck Hurgronje yang mengatakan jemaat pada waktu itu tidak layak menjadi perhatian sebagai ancaman politik.

“Itu dari perspektif kolonial. Faktanya, menurut Snouck Hurgronje, yang meneliti ziarah, pada waktu itu, para peziarah tidak memenuhi syarat untuk ditakuti sebagai anti -kolonialis,” katanya.

(CHRI)