Jakarta, Pahami.id –
Sebanyak tujuh warga sipil tewas dan 20 lainnya luka-luka pasca konflik perbatasan Kamboja Dan Thailand Terjadi sejak Senin (8/12).
Mantan Perdana Menteri Kamboja Hun Sen mengatakan serangan itu merupakan “balas dendam” terhadap Thailand. Pernyataan ini muncul setelah Kamboja sebelumnya membantah melakukan pembalasan selama dua hari.
Hun Sen juga mengklaim negaranya membalas, setelah tetap “bersabar selama lebih dari 24 jam untuk menghormati gencatan senjata dan memberikan waktu untuk mengevakuasi warga demi keselamatan”.
“Sekarang kami berjuang untuk membela diri lagi,” kata Hun Sen dalam sebuah postingan di Facebook.
Bentrokan minggu ini adalah yang paling mematikan sejak kedua negara bertetangga itu terlibat dalam konflik perbatasan selama lima hari pada Juli lalu, yang menewaskan puluhan orang dan membuat sekitar 300.000 orang mengungsi.
Kamboja menuduh pasukan Thailand melakukan penembakan di beberapa titik pada Senin (8/12) malam, menewaskan dua orang yang sedang bepergian di jalan nasional.
Kementerian Pertahanan Kamboja juga menuduh Thailand melanjutkan serangan pada Selasa pukul 5 pagi di kawasan perbatasan, termasuk di kawasan kuil berusia berabad-abad seperti Situs Warisan Dunia UNESCO, Kuil Preah Vihear.
Sementara itu, juru bicara Angkatan Laut Thailand Parat Rattanaphan mengatakan pasukan Thailand baru-baru ini mendeteksi pasukan Kamboja, pemukiman dan beberapa pangkalan senjata di wilayah pesisir provinsi Trat yang disengketakan.
Parat menuduh Kamboja meningkatkan ketegangan dengan mengerahkan pesawat untuk memprovokasi pasukan Thailand.
Perdana Menteri Thailand, Anutin Charnvirakul, mengatakan kepada wartawan bahwa militer negaranya akan tetap teguh.
“Thailand harus berdiri teguh di belakang mereka yang melindungi kedaulatan kita, kita tidak bisa berhenti sekarang,” tambah Anutin.
Konflik Thailand dan Kamboja berpusat pada perselisihan yang telah berlangsung selama satu abad mengenai perbatasan yang dipetakan selama penjajahan Perancis di wilayah tersebut.
Dalam konflik yang terjadi pada Juli lalu, Amerika Serikat, China, dan Malaysia selaku Ketua ASEAN tahun ini menjadi penengah pertikaian kedua negara.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, Uni Eropa dan Perdana Menteri Malaysia telah mendesak kedua belah pihak untuk menahan diri guna mengakhiri konflik.
(DNA)

