Jakarta, Pahami.id –
Komnas Ham mengungkapkan beberapa temuan dari hasil pemantauan yang terkait dengan peristiwa ledakan saat penghancuran peluru Tidak dapat dimiliki oleh TNI di distrik Cibalong, distrik GarorJawa Barat, Senin (12/6).
Dalam insiden itu, 13 orang yang terdiri dari empat anggota TNI dan sembilan masyarakat sipil meninggal.
Anggota ham Komnas Uli Parulian Sihombing mengatakan penghancuran peluru dilakukan oleh jalur Puspalad TNI-AD dengan 21 warga sipil yang bekerja sebagai pekerja harian yang independen.
“Tentang peristiwa 12 Mei 2025, 21 orang telah bekerja untuk membantu dalam proses menghancurkan peluru Appiki TNI dengan gaji rata -rata Rp150.000 sehari,” kata Uli dalam sebuah pernyataan tertulis pada hari Jumat (5/23).
ULI juga menjelaskan bahwa ledakan yang memicu jatuhnya kematian terjadi sekitar pukul 09.30 WIB, diduga karena limbah detonator yang akan dihancurkan dengan disimpan setelah menyelesaikan proses penghancuran peluru.
Sebelum ledakan, ada perdebatan singkat antara komandan Gapusmus dan koordinator warga negara bernama Rusttiwan tentang penanganan limbah detonator.
“Sebelum ledakan, ada perdebatan singkat antara komandan Gapusmus dan koordinator pekerja Rustiawan tentang penanganan detonator limbah.
Pada saat kejadian, korban menurunkan residu detonator yang telah dimasukkan ke dalam drum ke dalam lubang, dengan posisi beberapa orang di lubang dan sisanya ada di sekitar lubang dan membawa bahan detonator.
Tetapi selama proses itu, drum yang berisi detenator tiba -tiba meledak.
“Setiap tahap kehancuran atau peleburan, menemukan fakta -fakta dari sekelompok penduduk yang mengambil ledakan yang tersisa dari peluru.
Dia menjelaskan bahwa sembilan warga sipil terdiri dari delapan warga sipil yang merupakan pekerja harian mandiri dan satu mengunjungi lokasi untuk bertemu teman -temannya.
Pekerja dikoordinasikan di bawah Rusttiawan yang memiliki lebih dari 10 tahun pengalaman bekerja dalam proses menghancurkan peluru dengan TNI dan Polry.
Komnas Ham menemukan bahwa fakta -fakta para pekerja diajarkan sendiri selama bertahun -tahun, bukan melalui proses pendidikan atau pelatihan.
Karyawan tidak dilengkapi dengan peralatan khusus atau peralatan pelindung pribadi dalam pekerjaan mereka.
“Pekerja publik atau pekerja independen memiliki peran dan tugas mereka sebagai pengemudi truk, menggali lubang, untuk menurunkan peluru dan koki,” kata Ulam.
Sebelumnya, ledakan itu terjadi ketika penghancuran peluru tidak dapat dimiliki oleh TNI di distrik Cibalong, Distrik Garut, Jawa Barat.
Insiden itu menewaskan 13 orang, yang terdiri dari empat anggota TNI dan sembilan warga sipil.
Cnnindonesia.com Hubungi Kepala Kantor Informasi Angkatan Darat (Kadispenad) Brigadir Jenderal Kristomei Siantivi untuk mencari klarifikasi tentang temuan Komisi Hak Asasi Manusia Nasional, tetapi orang tersebut tidak merespons.
(Yoa/wis)