Jakarta, Pahami.id —
Donald Trump memenangkan pemilihan presiden (Pilpres) Amerika Serikat versi pemberitaan beberapa media.
Dalam pemilihan presiden terakhir, New York Times melaporkan bahwa Trump memperoleh 51 persen suara populer dan 299 suara elektoral.
Di tengah kemenangan ini, Semenanjung Korea berkobar karena Korea Utara terus melakukan uji coba rudal.
Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dikabarkan memiliki hubungan dekat dengan Trump.
Lantas apakah persahabatan mereka bisa membuat Semenanjung Korea lebih stabil atau sebaliknya?
Pakar hubungan internasional dari Seoul National University Sheen Seong Ho mengatakan kebijakan luar negeri Trump akan berdampak pada Indo-Pasifik, khususnya Semenanjung Korea.
“Saya pikir kehadiran Trump [ke Gedung Putih]sungguh ironis,” kata Sheen dalam diskusi Zoom saat ditanya apakah kemenangannya merupakan pertanda baik bagi Semenanjung Korea, Jumat (8/11).
Tanggapan Sheen itu muncul dalam lokakarya yang digelar Korea Foundation dan Komunitas Kebijakan Luar Negeri Indonesia di Hotel Le Meridien, Jakarta.
Sheen mengatakan ada kekhawatiran luas bahwa di bawah pemerintahan Trump, AS akan menuntut lebih banyak dukungan pertahanan dari Korea Selatan.
Klaim tersebut dapat menggunakan dalih bantuan pertahanan AS untuk menghalangi tindakan Korea Utara.
Pada masa jabatan sebelumnya, Trump menuntut lebih banyak kontribusi finansial untuk pasukan AS di Korea Selatan.
“Beberapa orang menyebutkan [Trump mungkin akan] menaikkan hingga 10 kali lipat biaya kontribusi Korea Selatan kepada AS yang ditempatkan di Korea Selatan,” kata Sheen.
Dia kemudian berkata, “Ada banyak kekhawatiran [soal peningkatan kontribusi itu].”
Trump-Kim Dekat, Semenanjung Korea Aman?
Sheen dalam kesempatan itu juga menekankan kedekatan Trump dan Kim yang mungkin membawa “perkembangan positif.”
Trump dan Kim mengadakan pertemuan puncak di Singapura pada tahun 2018 untuk membahas denuklirisasi dan sanksi Korea Utara.
Saat itu, Trump berjanji akan mengurangi latihan militer AS dan Korea Selatan. Kim sering melihat latihan ini sebagai persiapan kedua negara untuk menyerang Korea Utara.
AS menyerukan agar Korea Utara benar-benar melucuti senjatanya, termasuk program nuklirnya. Namun, saat itu Pyongyang hanya membongkar situs roket utama Korea Utara dan tidak memberikan komitmen apa pun.
Setahun kemudian, mereka kembali berdialog untuk membujuk Korea Utara agar menghentikan program nuklirnya.
Pertemuan tersebut tidak membuahkan hasil yang berarti. Trump dan Kim disebut-sebut akan melanjutkan dialog, namun sejauh ini belum ada informasi pasti.
“Trump melakukan pendekatan dengan Kim Jong Un, dan Kim Jong Un mencoba untuk melakukan pendekatan kembali dengan Trump, setidaknya harus ada semacam negosiasi atau kesepakatan untuk menghentikan atau menangani program nuklir Korea Utara,” kata Sheen.
Korea Utara dilaporkan telah menutup diri dan kesulitan membuat Kim bernegosiasi dan membahas denuklirisasi.
Meski Kim dan Trump disebut-sebut dekat, namun Sheen menegaskan kedekatan mereka tidak serta merta menyelesaikan masalah nuklir Korea Utara secara permanen.
Namun, Trump setidaknya bisa memberikan masukan mengenai program nuklir Korea Utara dan Kim akan mempertimbangkannya.
“Jadi itu akan menjadi perkembangan yang sangat positif,” kata Sheen.
Sheen kemudian menegaskan jika Trump benar-benar bertemu dengan Kim, kemungkinan besar akan terjadi perubahan di kawasan.
“Ini pasti akan membantu meredakan ketegangan di Semenanjung Korea. Korea Utara, Anda tahu, telah menciptakan tekanan dan ketegangan di Semenanjung Korea, dan menyalahkan kami,” ujarnya.
Sheen juga memperingatkan hubungan Kim dan Trump akan memburuk di masa depan.
Pada masa jabatan pertama Trump memimpin AS, ia dan pemimpin Korea Utara terlibat adu mulut dan bahkan saling mengancam.
Perselisihan ini berdampak pada Semenanjung Korea.
“Ini bisa menjadi kemungkinan lain yang berbeda. Dalam hal ini, mungkin perkembangannya negatif,” kata Sheen.
(isa/bac)