Jakarta, Pahami.id –
Beberapa kampus Menyikapi rencana pemberian izin usaha daerah pertambangan (Wiup) menuju pendidikan tinggi. Rencana tersebut akan dituangkan dalam Perubahan Keempat RUU Pertambangan Mineral dan Batubara (Hukum Mineral).
Jawabannya salah satunya datang dari Universiti Airlangga (Universitas Airlangga) Surabaya. Rektor Unair Prof Mohammad Nasih mengaku setuju dengan usulan tersebut.
Menurutnya, pemberian izin pertambangan merupakan niat baik pemerintah yang harus dijadikan sebagai solusi pendanaan tinggi bagi setiap kampus.
“Keinginan ini bisa satu, artinya pahalanya satu. Kalau niat baik ini terwujud tentu kita sambut baik,” kata NASH, di Kampus B Unair, Surabaya, Jumat (24/1).
Namun NASH meminta pemerintah memberikan kesempatan kepada universitas untuk mengidentifikasi lokasi tambang terlebih dahulu, sebelum resmi mengelolanya.
“Kalau kita identifikasi bisa bermanfaat, karena tujuannya untuk meringankan perguruan tinggi tentu kita sambut baik,” ujarnya.
NASH menilai pengelolaan pertambangan merupakan hal baru bagi universitas. Maka perlu banyak pertimbangan sebelum pihak kampus menyetujui kebijakan tersebut.
“Bisnis pertambangan itu tidak mudah, apalagi tempatnya jauh, jauh, dan lain-lain, ini bukan pekerjaan mudah. Apakah lembaga pemungutan suara bisa mengambil investasi itu,” ujarnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, pada tahap awal harus banyak pengorbanan, pertimbangan dan investasi yang harus dilakukan oleh perguruan tinggi. Dia ingin memastikan partainya patuh sepenuhnya.
“Hanya perhitungannya yang menang (untungnya) atau tidak, kalau tidak maaf, kalau masih mengumpat, tentu pihak Perguruan Tinggi akan dengan senang hati menerima kesempatan itu,” ujarnya.
Sementara itu, Rektor Universitas Muhammadiyah (UNISMUH) Makassar Abd Rakhim Nanda mengatakan keterlibatan kampus dalam pengelolaan pertambangan harus fokus pada pengembangan sumber daya manusia dan penelitian. Perguruan tinggi mempunyai tugas utama dalam bidang pendidikan dan penelitian.
“Tidak langsung terjun ke bidang usaha pertambangan. Kampus bisa mencetak sumber daya manusia yang dibutuhkan sektor pertambangan, baik melalui program studi khusus seperti pertambangan atau geologi, atau melalui program studi lain yang mendukung ekosistem pertambangan,” kata Prof. . Rakhim, Sabtu (25 25/1).
Selain itu, kontribusi kampus, lanjutnya, dapat diwujudkan melalui penelitian yang berorientasi pada pengembangan teknologi dan pengelolaan pertambangan berkelanjutan.
“Misalnya penelitian yang mendukung praktik pertambangan ramah lingkungan dan meminimalkan kerusakan ekologi,” ujarnya.
Tanggapan ini juga datang dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Rektor UII Yogyakarta Fathul Wahid menolak keras usulan pemberian izin usaha pertambangan kepada universitas tersebut.
Fathul mengklik fungsi utama kampus yang sejatinya merupakan pintu keilmuan yang harus netral.
“UII tidak setuju dengan gagasan pemberian izin pertambangan kepada kampus tersebut,” kata Fathul saat dihubungi, Sabtu (25/1).
Dia punya beberapa alasan atas penolakan tersebut. Pertama, menurut Fathul, industri ekstraktif terbukti menimbulkan kerusakan lingkungan, karena aktivitas pertambangan juga kerap menimbulkan konflik, penggusuran, dan dampak negatif terhadap masyarakat lokal.
Jika perguruan tinggi terus terlibat dalam sektor ini, maka jelas integritas akademik akan dipertaruhkan.
Karena temuan ilmiah terkait dampak buruk aktivitas pertambangan terhadap lingkungan dan manusia di sekitar lokasi akan cenderung terabaikan. Kampus bisa menjadi antisains, ujarnya.
Alasan kedua, kata Fathul, jika IUP dianggap sebagai hadiah dari pemerintah, besar kemungkinan kampus sebagai rumah intelektual akan semakin ‘gaduh’ ketika terjadi ketidakadilan atau penyalahgunaan kekuasaan. Ketiga, perguruan tinggi tetap puas dengan misi utamanya sebagai lembaga pendidikan.
“Jawa menyebutnya ‘Jelik yang puri Lali’. Keinginan untuk mencapai sesuatu yang lain bisa dilupakan dari misi awal. Kampus harus fokus,” ujarnya.
Sementara itu, Universitas Andalas (UNAND) Sumatera Barat masih mengkaji secara komprehensif kemungkinan keterlibatan perguruan tinggi negeri dalam pengelolaan pertambangan di Indonesia.
“Jika perguruan tinggi kemudian diberi kesempatan mengelola tambang tersebut, tentu tidak akan mengevaluasi rekam jejak yang kita miliki,” kata Rektor Unand EFA Yonnedi di Padang, Sabtu (15/1).
EFA mengatakan, untuk mengelola konsesi pertambangan sebagaimana tertuang dalam revisi UU Minerba memerlukan kesiapan dan keterampilan dari segala aspek. Apalagi selama ini perguruan tinggi, termasuk PBB, hanya fokus pada bidang pendidikan dan penelitian nasional atau belum pernah terlibat dalam pengelolaan pertambangan.
Tentu kita harus memahami semua aspek mulai dari pengelolaan lingkungan, sumber daya manusia dan sebagainya, kata mantan konsultan Bank Dunia itu.
Tak hanya itu, EFA juga masih mempertimbangkan apakah akan benar-benar terlibat dalam pengelolaan pertambangan di Indonesia atau tidak. Sebab, kampus tertua di luar Pulau Jawa ini khawatir langkah tersebut bisa membuka peluang konflik kepentingan.
“Konflik kepentingan ini harus dihindari ketika kita masuk ke sana dengan menggunakan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik,” ujarnya.
(tanggal 1/8 Agustus)