Daftar Isi
Jakarta, Pahami.id –
Komandan TNI Kepala Agus Subiyanto menekankan bahwa militer aktif bertugas di lembaga dan lembaga sipil Harus pensiun lebih awal atau mengundurkan diri.
Ini mengacu pada Pasal 47 Hukum Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI. Pasal 47 Paragraf 1 menyatakan bahwa militer hanya dapat menempati kantor publik setelah mengundurkan diri atau pensiun dari kantor aktif prajurit.
Kemudian, Pasal 47 Paragraf 2 mengontrol militer aktif dapat menjabat di kantor yang bertanggung jawab untuk koordinator politik dan keamanan negara, pertahanan nasional, sekretaris -umum, intelijen nasional, kata sandi nasional, lembaga pertahanan nasional, dewan pertahanan nasional, pencarian dan penyelamatan nasional (SAR), narkotika nasional, dan Mahkamah Agung.
“Jadi, militer TNI aktif yang bertugas di kementerian/lembaga lain akan pensiun atau mengundurkan diri dari agen aktif sesuai dengan Pasal 47. Terima kasih,” kata Agus ketika bertemu di Ptik, Jakarta Selatan, Senin (10/3).
Sementara itu, kepala pusat informasi umum utama Tni Hariyanto menjelaskan bahwa militer dapat mengajukan pengunduran dirinya ke markas TNI untuk dapat menduduki kantor publik di luar.
Setelah diserahkan, keputusan pengunduran diri akan disetujui oleh kepemimpinan TNI.
“Setelah disetujui oleh pengunduran dirinya, prajurit itu adalah status publik penuh dan tidak lagi terikat oleh aturan dan kewajiban sebagai anggota TNI,” katanya.
Namun, Hariyanto tidak menjelaskan lebih lanjut sanksi di bawah kendali hukum jika prajurit aktif tidak menarik diri dari unit.
Komandan Komandan, tetapi pengawasan yang lemah
Wakil Direktur Implikasi Hussein Ahmad mengatakan pernyataan Agus sebagai komandan TNI adalah peringatan kepada pasukannya untuk mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam undang -undang TNI.
“Ini adalah peringatan kuat dari komandan dan mungkin dia berharap bahwa anggotanya akan segera mengundurkan diri atau kembali ke persatuan seperti itu,” kata Hussein ketika dihubungi Cnnindonesia.comSelasa (11/3).
Namun, Hussein mengatakan sejauh ini tampaknya menjadi warisan oleh TNI pada aplikasi dan pengawasan peraturan. Bahkan, menurut Hussein, TNI sebagai lembaga memiliki mekanisme untuk mengawasi penerapan peraturan internal mereka.
“Sejauh ini, saya tidak mengerti apakah ada penilaian atau tidak, tetapi tidak ada evaluasi, baik dari internal atau dari DPR, terutama komisi sebagai komisi yang beroperasi dan mengawasi pertahanan,” katanya.
Demikian pula, pengamat militer dari Institute of Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai bahwa pernyataan komandan TNI adalah bentuk konfirmasi untuk kembali ke aturan yang terkandung dalam undang -undang.
Namun, Khairul menyatakan bahwa dalam praktiknya ada ‘lubang’ besar yang kemudian membuat banyak tentara TNI ditempatkan di posisi publik.
“Pemerintah sebelumnya cenderung mengabaikan ketentuan ini dengan alasan kebutuhan organisasi, oleh karena itu, langkah -langkah komandan kepala lebih diperbaiki dalam praktik,” kata Khairul.
“Ini berarti bahwa, dengan pernyataan itu, komandan TNI telah mengkonfirmasi komitmen bahwa mekanisme penempatan militer di luar lingkungan TNI, akan sepenuhnya merujuk pada ketentuan saat ini, sebagaimana diatur dalam Pasal 47 Hukum Nomor 34 pada tahun 2002,” katanya.
Dwifunction Abri mulai muncul
Di sisi lain, Hussein mengatakan bahwa Dwifunction Abri benar -benar dimulai untuk waktu yang lama. Dia mengatakan praktik pemukiman militer aktif di posisi publik telah berulang kali terjadi.
Akhirnya, dia melanjutkan, yang paling prihatin adalah Maj. Jenderal Novi Helmy Prasetya dua kali Direktur Pelaksana Bulog dan menjabat sebagai Akademi TNI.
“Saat ini fungsi tidak hanya penempatan TNI di posisi publik, tetapi juga peran TNI yang berada di luar tugas dan fungsi utama, misalnya dalam nutrisi gratis, misalnya,” kata Hussein.
“Lalu misalnya mereka semua punya makanan, yang penuh dengan makanan, menanam ubi jalar, keamanan makanan, dan sebagainya,” katanya.
Terutama terkait dengan posisi bersamaan, Hussein mengatakan Agus sebagai komandan TNI sebenarnya memiliki kekuatan untuk terus memanggil putranya yang melanggar aturan.
“Jadi, pada kenyataannya, kami juga menunggu tindakan komandan TNI, sehingga ini hanya kenyataan karena misalnya masyarakat sipil berbicara bahwa fungsi TNI sekali lagi merespons secara normal,” katanya.
Penegakan aturan harus tegas
Di sisi lain, Khairul mengatakan ada beberapa langkah yang dapat diambil TNI untuk memastikan bahwa Pasal 47 hukum telah dilakukan. Pertama, investasi dalam posisi. Dia mengatakan pemerintah dan TNI harus melakukan penilaian komprehensif terhadap semua posisi publik yang saat ini diisi oleh tentara aktif.
“Harus ditentukan bahwa sesuai dengan ketentuan UU 34/2004 dan tidak,” katanya.
Kedua, penegakan aturan secara eksplisit. Artinya, jika ada tentara aktif yang menempati kantor di luar ketentuan Undang -Undang, maka pilihan mereka harus pensiun atau mengundurkan diri, mentransfer status ke ASN, atau mereka dikembalikan ke lingkungan TNI.
Ketiga, peningkatan regulasi. Khairul mengatakan Pasal 47 undang -undang harus diperbarui agar lebih mudah beradaptasi dengan pengembangan organisasi pemerintah, tetapi masih di bawah batasan yang ketat.
“Saat ini, fleksibilitas interpretasi peraturan sering digunakan untuk menempatkan pasukan aktif dalam posisi yang tidak terputus,” katanya.
Selain itu, ini terkait dengan akuntabilitas dalam perekrutan pegawai negeri. Menurutnya, mekanisme pemilihan petugas harus terbuka dan kompetitif berdasarkan sistem prestasi, jadi tidak ada kesenjangan bagi siapa pun yang menempati posisi publik tanpa proses yang tepat.
Termasuk jika ada tentara yang akan memasuki kantor publik, proses administrasi mengakhiri layanan resmi harus lengkap terlebih dahulu, sebelum menempati posisinya.
Yang terakhir adalah pengawasan yang ketat. Khairul mengatakan TNI harus memiliki mekanisme pengawasan yang lebih kuat daripada DPR, LSM, dan masyarakat sipil tentang implementasi kebijakan ini.
“Jika tidak dipantau dengan benar, praktik lama dapat diterapkan kembali karena berbagai alasan dan pembenaran baru,” katanya.
(DAL/DEC)