Jakarta, Pahami.id –
Ketua KPU Indonesia Mochammad Afifuddin mengatakan bahwa sisi akan meninjau hasilnya Pengadilan konstitusional (MK) Tentang implementasi pilihan nasional dan regional (pemilihan) dipisahkan oleh minimal 2 tahun atau maksimum 2 tahun dan 6 bulan.
“Kami menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi dan akan mempelajari secara rinci keputusan Mahkamah Konstitusi,” kata Afifuddin ketika dikonfirmasi di Jakarta pada hari Jumat (6/27).
Afifuddin menilai bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi akan memfasilitasi tugas KPU sebagai penyelenggara pemilihan.
“Memang, tahapan yang dipertimbangkan bahkan pada saat yang sama secara teknis membuat KPU perlu bekerja tambahan,” katanya.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa implementasi pemilihan nasional dan regional dipisahkan oleh maksimal 2 tahun atau maksimum 2 tahun dan 6 bulan.
Pemilihan nasional meliputi pemilihan anggota DPR, DPD, dan presiden dan wakil presiden, sementara pemilihan regional termasuk pemilihan anggota DPRD regional, distrik/DPRD, serta pemimpin dan perwakilan regional.
“Mengingat permintaan pemohon untuk divisi tersebut,” kata Ketua Hakim Suhartoyo untuk membaca hasil 135/PUU-XXII/2024 di Pengadilan MK, Jakarta, Kamis (6/26).
Dalam kasus ini, Mahkamah Konstitusi memberikan beberapa permintaan yang diajukan oleh Asosiasi Pemilihan dan Demokrasi (Muludem) yang diwakili oleh Ketua Yayasan Pludem Khoirunnisa Nur Agustyati dan Bendahara Manajemen Yayasan Yayasan Irmalidarti.
Secara rinci, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 167 paragraf (3) hukum nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum bertentangan dengan Konstitusi Republik Indonesia (UUD NRI) tahun 1945 dan tidak memiliki otoritas hukum dalam hal kondisi di masa depan tidak ditafsirkan sebagai:
“Voting secara bersamaan untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan kemudian dalam minimal dua tahun atau maksimum dua tahun dan enam bulan sejak pembukaan anggota DPR dan anggota anggota terpilih.
Dalam diktum lain, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 347 paragraf (1) hukum nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum bertentangan dengan konstitusi Republik Indonesia 1945 dan tidak memiliki otoritas hukum selama tidak ditafsirkan sebagai:
“Voting diadakan secara bersamaan untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan kemudian dalam minimal dua tahun atau maksimum dua tahun dan enam bulan sejak pembukaan anggota DPR dan anggota DPR, dan Governor, Governor, Governor, Governor, Governor, DPR, DPR, DPR, DPR, DPR, DPR, Gubernur, Gubernur, Governor,”
Belakangan, Mahkamah Konstitusi juga menyatakan bahwa Pasal 3 paragraf (1) Hukum Nomor 8 tahun 2015 tentang pemilihan gubernur, Regentes, dan Walikota (Hukum Hukum) yang bertentangan dengan Konstitusi dan tidak memiliki kekuatan hukum yang terikat dengan cara yang kumuh di masa depan tidak ditafsirkan sebagai:
“The election was held simultaneously in all regions of the unitary state of the republic of Indonesia to elect members of the provincial DPRD, members of the regency/city DPRD, and the government/deputy government, regent/deputy regent, and the mayor/deputy mayor who was held in a minimum time of two years Maximum of two years and six months after the inauguration of the DPR and DPD members or since the Opening of the Presiden/Wakil Presiden. “
Dengan keputusan itu, Mahkamah Konstitusi memerintahkan agar pemilihan regional diadakan setelah pemilihan nasional.
(FRA/antara/FRA)