Jakarta, Pahami.id –
Asosiasi Jurnalis (IWakum) menyangkal pernyataan pemerintah bahwa organisasi tidak memiliki posisi hukum atau posisi hukum untuk menguji Konstitusi Pasal 8 dan penjelasan Pasal 8 Hukum koran.
Dalam persidangan di Pengadilan Konstitusi (MK) hari ini, pada hari Senin (6/10), pemerintah yang diwakili oleh Direktur Jenderal Komunikasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) Fifi Alida, menganggap bahwa Iwakum sebagai pemohon tidak memiliki posisi hukum atau posisi hukum untuk menguji artikel tersebut.
Sekretaris Iwakum -General (Sekretaris -Jenderal) Ponco Sulaksono mengatakan pernyataan dari pemerintah tidak berdasar dan salah.
“Iwakum tidak memiliki posisi hukum dan mengevaluasi argumen multi-interpreter dalam Pasal 8 undang-undang surat kabar yang tidak berdasar adalah pandangan yang salah,” kata Ponco, setelah kasus nomor 145/PUU-XXIII/2025 dikutip dari pernyataan tertulis.
Menurutnya, pendapat itu tidak hanya salah, tetapi juga mencerminkan sikap default terhadap hak -hak konstitusional jurnalis Indonesia.
Ponco menjelaskan bahwa Iwakum adalah organisasi profesional yang terdiri dari jurnalis aktif yang meliput fakta setiap hari, mengawasi undang -undang, dan bekerja untuk publik.
“Ini adalah orang -orang yang sering diintimidasi, dapat dituduh oleh pegawai negeri hanya karena mereka melaksanakan jurnalisme,” katanya.
“Kami menekankan, Iwakum berdiri berdasarkan perjuangan profesional. Kami bukan lembaga fiktif, bukan kelompok bayangan,” tambah Ponco.
Sementara itu, Ponco juga menilai bahwa argumen pemerintah bahwa Pasal 8 Hukum Pers tidak banyak interpretasi, seperti menutup matanya ke kenyataan.
Bahkan, katanya, sampai hari ini, kejahatan jurnalis terus berlanjut.
“Selama 25 tahun, Pasal 8 surat kabar telah menyebutkan keberadaan” perlindungan hukum “untuk wartawan, tetapi perlindungan seperti apa? Dari siapa?
Selain itu, ia mengatakan bahwa permintaan untuk ujian yudisial surat kabar yang disajikan oleh Iwakum adalah bentuk ketahanan moral terhadap rezim yang kehilangan sensitivitas terhadap pers dan kebebasan demokrasi.
“Alih -alih mendengarkan aspirasi surat kabar, pemerintah bersembunyi di balik undang -undang sempit untuk menolak tanggung jawabnya untuk melindungi profesi kebenaran,” katanya.
(Yoa/dal)