Berita Golput Tak Salah, Termasuk Hak Politik

by


Jakarta, Pahami.id

Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STH) Jentera Bivitri Susanti menegaskan tidak memilih alias netral, merupakan bentuk hak politik warga negara. Dia membenarkan pantang tidak ada yang salah.

Hal tersebut disampaikan Bivitri saat menjadi pembicara pada agenda diskusi publik ‘Aksi Memilih Semua Kandidat Sebagai Resistensi Politik Boneka’ Jokowi-Prabowo’ digelar secara online, Senin (23/9).

“Kalau sekarang kita golput, salah atau tidak? Jawaban saya langsung tidak salah. Saya ingin meyakinkan teman-teman semua di sini, satu pesan, tidak memilih itu bukan kejahatan kawan,” kata Bivitri.


Berdasarkan undang-undang, memilih dan tidak memilih merupakan hak politik warga negara. Alokasi di Indonesia berbeda dengan sistem pemilu di Australia yang mengharuskan masyarakat memilih.


Prinsipnya, memilih itu hak politik, jadi tidak memilih juga hak politik. Kita tidak seperti di Australia, misalnya kalau tidak memilih ada denda, tambahnya.

Pakar hukum tata negara ini menjelaskan, yang termasuk tindak pidana adalah memaksa orang lain untuk tidak memilih. Sekadar mendorong pantang, katanya, tidak akan melanggar hukum.

“Kalau aku cuma ngomong ke teman-teman, nggak ada salahnya kalau tidak memilih. Aku tidak bisa dijerat pidana. Aku hanya menjelaskan hukumnya. Terserah teman-temanku apakah mereka mau melaksanakannya. Itu hak mereka untuk memilih.” memilih atau tidak. Tapi, saya ingin meyakinkan Anda bahwa “Jangan memilih untuk dibiarkan begitu saja,” kata Bivitri.

“Di beberapa negara ada yang namanya NOTA, None of the Above. Jadi, di kertas suara ada opsi yang mengatakan saya tidak ingin memilih semua orang. Itu demokrasi,” sambungnya.

Sementara itu, Badan Pengawas Pensiundem Titi Anggraini menjelaskan, dalam istilah pemilu, netralitas adalah netralitas atau memilih untuk tidak menggunakan hak pilih. Kata dia, tidak memilih bukan merupakan tindak pidana.

“Kalau kita lihat konstruksi UUD kita, UU Pemilu kita, UU HAM kita, itu bagian dari implementasi prinsip-prinsip ini: kebebasan, kejujuran, kesetaraan, karena kita ingin mempertahankan prinsip-prinsip itu,” kata Titi.

“Jadi dia dilarang? Tidak ada satu pasal pun di UU HAM dan UU Pemilu atau UU Pilkada kita, karena kita bicara Pilkada yang menyatakan keberatan memilih diancam pidana,” sambungnya.

Titi menjelaskan, memang ada ancaman pidana untuk mendorong masyarakat memilih atau tidak memilih. Namun hal tersebut harus dibarengi dengan perbuatan melawan hukum seperti suap.

Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 187 A UU Pemilukada yang menyebutkan ancaman pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan serta denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

Aspek pidananya jika disertai dengan kekerasan, dorongan, ancaman, dan juga penyebaran penipuan, ujarnya.

(ryn/tsa)