Jakarta, Pahami.id —
Presiden Yoon Suk Yeol mengumumkan keadaan darurat militer di Korea Selatan pada Selasa (3/12) malam waktu setempat dan berakhir pukul enam.
Dalam pidatonya di televisi, Yoon mengatakan ancaman dari pendukung Korea Utara membahayakan kebebasan demokrasi Korea Selatan.
“Saya mendeklarasikan darurat militer untuk melindungi Republik Korea yang merdeka dari ancaman kekuatan komunis Korea Utara, melenyapkan kekuatan pro-Korea Utara dan anti-negara yang tidak tahu malu, yang merampas kebebasan dan kebahagiaan rakyat,” kata Yoon.
Beberapa orang menilai retorika Yoon mengenai komunis Korea Utara hanyalah omong kosong dan alasan untuk membenarkan keadaan darurat militer. Media Korea Selatan mengatakan kekuatan anti-negara mengacu pada oposisi yang mengontrol parlemen.
Korea Utara sejauh ini belum memberikan informasi resmi apa pun. Mereka juga tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengambil tindakan tertentu.
Namun, sejumlah pengamat menduga Korea Utara akan mengambil tindakan pasca darurat militer Korea Selatan. Mereka menilai situasi ini mampu memberikan momentum bagi negara pimpinan Kim Jong Un tersebut.
Pengamat politik internasional dari Universitas Diponegoro, Aniello Iannone yang biasa disapa Ello mengatakan, ada beberapa faktor yang mempengaruhi Korea Utara mengambil tindakan termasuk situasi internal.
Namun, jika terjadi krisis yang berkepanjangan, menurut saya kemungkinan besar Korea Utara akan mengeksploitasi situasi ini untuk propaganda dan keuntungan strategis, kata Ello saat dihubungi. CNNIndonesia.comRabu (12/4).
Propaganda ini dapat dilakukan melalui kantor berita dan media yang dikendalikan oleh pemerintah Korea Utara.
Pemerintah Korea Utara, lanjutnya, juga bisa mengeksploitasi ketidakstabilan politik di Korea Selatan sebagai gambaran pemerintahan demokratis yang lemah dan rentan.
Korea Utara kemungkinan besar akan mengolok-olok Korea Selatan dengan menyebutnya sebagai “demokrasi yang gagal” dan membenarkan sistem negaranya.
Selama ini, Korea Selatan dan sekutu dekatnya Amerika Serikat kerap menyindir pemerintahan komunis Korea Utara sebagai negara gagal dan tidak peduli terhadap rakyat.
Lebih lanjut, Ello mengatakan, perhatian Seoul yang terbagi antara krisis internal dan ancaman eksternal dapat memberikan lebih banyak ruang bagi Korea Utara.
“Meningkatkan provokasi tanpa mendapat respon tegas dari Korea Selatan,” ujarnya.
Tindakan Korea Utara mungkin mencakup tindakan yang meningkatkan ketidakamanan, pencegahan regional dengan uji coba rudal, dan mengancam Korea Selatan.
Korea Utara, lanjut Ello, kerap menggunakan uji coba rudal sebagai salah satu cara untuk menunjukkan kekuatan dan meningkatkan tekanan diplomatik.
“Dalam skenario ini, pengujian bisa meningkat,” katanya.
Selain itu, Korea Utara dapat meningkatkan aktivitas militer di perbatasan untuk menguji respons militer Korea Selatan terhadap krisis internal, kata Ello.
Namun tindakan ini dapat menimbulkan intervensi dari pihak luar seperti Amerika Serikat dan otomatis Tiongkok dan Rusia.
Jika ketiga negara ini melakukan intervensi maka posisi Korea Selatan akan melemah dan posisi Korea Utara akan semakin kuat.
“Mengingat kelemahan Korea Selatan, Pyongyang dapat mencari dukungan dari sekutu tradisionalnya untuk memperkuat posisinya di kancah internasional,” pungkas Ello.
Ketegangan antara kedua negara meningkat dalam beberapa bulan terakhir. Hubungan antara Korea Utara dan Selatan berada pada titik terendah sejak mereka menyetujui gencatan senjata setelah Perang Korea pada tahun 1953.
(isa/dna)