Jakarta, Pahami.id —
Pemuda itu dikatakan absen pemilihan pertama masuk Myanmar pada Minggu (28/12). Ini merupakan pemilu pertama setelah lima tahun perang saudara di Myanmar.
Banyak generasi muda yang sebelumnya mengikuti pemilu lalu tidak tampil pada pemilu kali ini. Pemilih yang lebih tua mendominasi jumlah pemilih dalam pemilu kali ini.
Menurut AFP, banyak warga telah meninggalkan negara yang dilanda perang sejak tentara mengambil alih kekuasaan lima tahun lalu. Mereka yang meninggalkan Myanmar termasuk pria berusia militer hingga 35 tahun atau generasi muda yang mencari kehidupan yang lebih baik di luar negeri karena lesunya perekonomian Myanmar.
Sementara itu, generasi muda yang masih berada di tanah air juga belum terlalu antusias untuk mengikuti pemilu kali ini. Aktivis hak asasi manusia internasional menganggap pemilu yang diselenggarakan junta militer saat ini hanya sekedar lelucon.
“Sebagian besar orang yang memilih adalah orang-orang lanjut usia,” kata seorang pria berusia 20-an tahun di kawasan Mandalay, yang menolak disebutkan namanya karena alasan keamanan.
“Saya rasa tidak ada seorang pun yang mau terlibat dalam kekacauan ini. Masyarakat mungkin tidak percaya pada keadilan pemilu ini,” lanjutnya, dilansir AFP.
Di TPS dekat Pagoda Sule di pusat kota Yangon, mayoritas pemilihnya adalah orang tua, ibu dengan anak, dan ibu rumah tangga.
Menurut pejabat setempat, dari sekitar 1.400 orang yang terdaftar di TPS, kurang dari 500 orang telah menggunakan hak pilihnya kurang dari dua jam sebelum pemungutan suara ditutup.
Pada pemilu terakhir tahun 2020, tingkat partisipasi pemilih mencapai sekitar 70 persen.
Sein Yee, pensiunan guru sekolah desa mengatakan, ikut serta dalam pemilu merupakan kewajiban seluruh warga negara.
“Ini adalah kesempatan bagi seluruh warga negara untuk mewujudkan perdamaian di negeri ini,” kata Sein.
Myanmar telah terperosok dalam perang saudara sejak kudeta militer pada tahun 2021, dan dua tahun lalu pemerintah memberlakukan wajib militer untuk meningkatkan pasukannya melawan pemberontak dan kekuatan etnis minoritas yang telah lama mendominasi wilayah pinggiran negara tersebut.
“Saya pikir ini adalah pemilu yang tidak adil dan diselenggarakan bertentangan dengan keinginan rakyat,” kata Kyaw Min Thein, seorang pria berusia 35 tahun di negara bagian Rakhine bagian barat, yang hampir seluruhnya dikendalikan oleh kekuatan etnis minoritas.
“Saya rasa tidak akan ada perubahan apa pun. Saya kira mereka hanya mengganti pakaian militernya dengan pakaian sipil dan mempertahankan kekuasaannya.”
(dmi/dmi)

