Berita Alberto Fujimori, Anak Imigran Jepang Pimpin Peru dengan Tangan Besi

by


Jakarta, Pahami.id

Mantan Presiden Peru Alberto Fujimori meninggal dunia di usia 86 tahun pada Rabu (12/9) karena penyakit kanker.

Putra mantan presiden, Keiko Fujimori, membenarkan kabar duka tersebut melalui media sosial X.


“Setelah perjuangan panjang melawan kanker, ayah kami, Alberto Fujimori, baru saja meninggal dunia untuk bertemu Tuhan,” kata Keiko.

Mendengar kabar duka tersebut, pemerintah Peru mengumumkan masa berkabung selama tiga hari. Fujimori juga akan menerima pemakaman bermartabat yang sama seperti presiden mana pun yang meninggal saat masih menjabat.

Siapa Fujimori?

Fujimori memimpin Peru selama satu dekade dari tahun 1990 hingga 2000.

Mantan presiden itu lahir dari imigran Jepang. Ia belajar di universitas pertanian di ibu kota Peru, Lima. Fujimori kemudian melanjutkan studi pascasarjana di Amerika Serikat dan Perancis.

Ketika dia kembali ke Peru, dia menjadi pembawa acara sebuah program televisi yang berfokus pada isu-isu lingkungan.

Kemudian pada tahun 1989, Fujimori mencalonkan diri sebagai presiden dan menjadi pemimpin partai baru Cambio 90 yang berarti Perubahan.

Dalam kompetisi tersebut, ia berhasil mengalahkan peraih Nobel Sastra Mario Vargas Llosa. Kemenangan ini menjadikannya politisi keturunan Asia yang memimpin negara non-Asia.

Bagi sebagian warga Peru, kemenangan Fujimori di dalam negeri telah mengubah dirinya: dari orang luar secara politik menjadi orang kuat yang dibutuhkan negara.

Fujimori mewarisi negara yang sedang mengalami krisis ekonomi. Namun, selama masa jabatannya ia mencoba menerapkan kebijakan penghematan yang disebut “Fujishock” dan berhasil mengendalikan hiperinflasi, katanya. CNN.

Ia juga menyaksikan kekalahan kelompok pemberontak Amerika Latin Shining Path.

Namun, mantan presiden tersebut memiliki sifat otoriter dan menggunakan pasukan keamanan untuk menekan lawannya. Tak lama kemudian, penyalahgunaan kekuasaan dan tuduhan korupsi muncul dan membayangi pencapaiannya

Pada awal tahun 90an, istri Fujimori saat itu, Susana Higuchi, secara terbuka mencela dia sebagai koruptor dan menuduh keluarganya menjual pakaian sumbangan ke Jepang secara ilegal.

Setelah pasangan itu bercerai, Fujimori menunjuk anak pertama mereka, Keiko, sebagai ibu negara Peru menjelang masa jabatan keduanya.

Pada tahun 2000, Fujimori mencalonkan diri untuk masa jabatan ketiga yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pencalonan ini menuai kritik karena dianggap melanggar konstitusi.

Namun, dia menang. Pihak oposisi kemudian menuduh Fujimori melakukan kecurangan dalam pemilu.

Pada akhir tahun 2000, pemerintahan Fujimori runtuh drastis. Salah satu pemicunya adalah bocornya video kepala intelijen Peru Vladimiro Montesinos yang berisi suapnya kepada anggota kongres oposisi.

Skandal itu dengan cepat menyebar dan memicu kemarahan publik. Fujimori menyangkal keterlibatan dan korupsi.

Pada bulan November tahun itu, Fujimori mencoba mengajukan pengunduran dirinya dengan mengirimkan faks ke rumah. Saat itu, dia sedang berada di Jepang.

Beberapa hari kemudian, Kongres Peru melakukan pemakzulan dan menyatakan Fujimori secara moral tidak layak untuk memimpin.

Selama beberapa tahun dia tinggal di Jepang. Suatu ketika Fujimori pergi ke Chile dan langsung ditangkap lalu diekstradisi ke Peru.

Dia menghadapi dakwaan pelanggaran hak asasi manusia dan serangkaian kasus lainnya.

Pertarungan hukum

Fujimori bolak-balik masuk penjara selama beberapa tahun setelah dinyatakan bersalah dalam empat kasus pidana berbeda.

Pada tahun 2009, pengadilan khusus Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman 25 tahun penjara kepada Fujimori karena mengizinkan operasi pasukan yang bertanggung jawab atas pembunuhan warga sipil.

Dalam persidangan terpisah, mantan presiden tersebut juga dinyatakan bersalah karena membobol rumah Montesinos untuk mencuri video yang memberatkan, mengambil uang dari kas pemerintah untuk membayar kepala intel, dan mengizinkan penyadapan telepon serta menyuap anggota parlemen dan jurnalis secara ilegal.

Kemudian pada tahun 2017, ia menerima pengampunan medis atas pelanggaran hak asasi manusia dari Presiden Peru saat itu Pedro Pablo Kuczynski. Pengampunan ini terjadi karena Fujimori menderita penyakit serius.

Namun pengampunan tersebut memicu protes keras dan kritik luas dari organisasi hak asasi manusia hingga anggota parlemen.

Pada Januari 2019, pengampunan Fujimori akhirnya dicabut dan dia dikembalikan ke penjara.

Secara terpisah pada tahun 2018, pengadilan Peru memutuskan Fujimori dapat diadili karena diduga mengizinkan penculikan, penyiksaan dan pembunuhan enam orang pada tahun 1992 di kota Pativilca.

Meski berulang kali divonis bersalah, Fujimori tetap teguh pada pendiriannya.

Ia dengan tegas menyatakan bahwa segala tindakan yang dilakukan adalah demi kebaikan negara. Fujimori mempertahankan posisi itu hingga akhir hayatnya.

(isa/rds)