Site icon Pahami

Berita Presidential Threshold Dihapus dan Akhir Privilege Partai Besar


Jakarta, Pahami.id

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menerbitkan ambang batas syarat pencalonan presiden atau ambang batas presiden di dalam UU Pemilu 7 Tahun 2017 dinilai memberi angin segar bagi proses pencalonan pada pemilu presiden mendatang.

Keputusan ini akan membuka pintu partisipasi bagi siapa saja yang ingin mencalonkan diri sebagai calon presiden dan wakil presiden. Namun di sisi lain, keputusan MK yang progresif juga dinilai akan menimbulkan kerumitan baru dalam sistem pemilu presiden.

“Penghapusan ambang batas pencalonan presiden merupakan langkah positif bagi masyarakat, namun perlu dicarikan solusi agar tidak terjadi komplikasi akibat berlebihannya penghapusan tersebut,” kata Direktur Eksekutif Aliran Survei Indonesia ini. (ASI), Ali Rif’an saat dihubungi, Jumat (3/1).


keputusan MK tentang penghapusan ambang batas presiden Demikian dalam perkara nomor 62/PUU-XXII/2024 yang dibacakan dalam sidang putusan, Kamis (2/1). Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan yang diajukan empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yakni Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoriul Fatna.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai proses pencalonan calon pada pemilu presiden selama ini terlalu didominasi oleh partai politik tertentu. Akibatnya, hal ini membatasi hak konstitusional pemilih untuk mencari calon pemimpin alternatif.

Mahkamah juga menilai penerapan ambang batas pencalonan presiden justru menimbulkan kecenderungan pemilu presiden hanya diikuti oleh dua pasangan calon. Faktanya, pengalaman sejak pemilu menunjukkan adanya dua pasangan calon membuat masyarakat semakin mudah terjebak dalam polarisasi.

Menurut Ali, keputusan tersebut dipandang positif oleh masyarakat. Sebab, dengan begitu, setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mencalonkan diri sebagai calon presiden dan wakil presiden asalkan mendapat dukungan dari partai politik. Tidak menjadi soal apakah partai politik tersebut mempunyai kursi di parlemen atau tidak.

Ali pun menilai, putusan MK bisa membuat menu ‘prasmanan’ pada Pilpres 2029 menjadi lebih beragam dibandingkan pilpres sebelumnya.

“Ketentuan 4L (kamu lagi, kamu lagi) mungkin akan berkurang. Prinsip keadilan juga bisa ditegakkan kembali. Oligarki politik perlahan bisa diredam, ujarnya.

Namun, Ali mengatakan keputusan tersebut akan menimbulkan beberapa komplikasi baru. Utamanya soal stabilitas politik di parlemen. Sebab, selama ini presiden terpilih biasanya membutuhkan dukungan mayoritas kursi partai pendukung.

Dengan adanya keputusan MK, presiden terpilih bisa berasal dari partai tanpa perolehan suara yang signifikan. Hal ini membuat posisinya di parlemen mempunyai potensi risiko politik yang besar.

Sebab, kalau presiden terpilih tidak mendapat dukungan partai, maka mudah ditantang atau program tidak bisa dilaksanakan karena terhambat dukungan fraksi di parlemen, ujarnya.

Selain itu, Ali juga belum yakin keputusan tersebut akan diterima sepenuhnya oleh delapan partai di parlemen saat ini. Bagi partai petahana di parlemen, putusan MK cenderung merugikan karena berpotensi merampas keistimewaan atau ‘kemewahan’ yang telah mereka peroleh selama ini.

Dalam konteks pemilu presiden mendatang, mereka tidak lagi menjadi bot atau pemegang tiket nominasi. Sebab, semua partai, bahkan yang tidak punya kursi, bisa mengajukan calonnya sendiri.

Masyarakat, lanjut Ali, hendaknya mencermati pernyataan pimpinan partai terkait keputusan tersebut. Yang jelas, keputusan Mahkamah Konstitusi sewenang-wenang kebijakan hukum terbuka.

Artinya, penerapannya perlu terus dilakukan melalui peninjauan kembali undang-undang yang memerlukan kesepakatan antara partai-partai di parlemen dan pemerintah.

“Jadi menurut saya ini belum final. Karena dinamika ini akan ada di parlemen karena yang jelas keputusan ini akan menurunkan posisi parpol secara politik,” kata Ali.

Menunggu tanggapan DPR dan pemerintah

Terpisah, Ketua Komisi II DPR Rifqinizami Karsayuda menyatakan menghormati putusan MK yang menghapus ambang batas pencalonan presiden. Menurut dia, keputusan MK bersifat final dan mengikat.

Ia pun memastikan DPR akan menindaklanjuti keputusan tersebut. Pemerintah dan DPR akan duduk bersama dan menerjemahkan keputusan tersebut melalui pengujian UU Pemilu.

Selanjutnya pemerintah dan DPR akan menindaklanjuti pembentukan norma baru dalam undang-undang terkait persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden, kata Rifqi, Kamis (2/1).

Terkait hal itu, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah mengatakan, sebaiknya pemerintah dan DPR segera mengkaji ulang undang-undang pemilu menyusul keputusan tersebut.

Castro, sapaan akrabnya, mengatakan keputusan Mahkamah Konstitusi harus dihormati. Melalui peninjauan ini, kata dia, seluruh partai politik mempunyai hak yang sama untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden.

“Artinya begitu. Jadi harus patuh. Kalau tidak patuh, sama persis dengan keputusan kemarin 60 ya, soal usia pencalonan bupati, kisruh,” kata Castro, Kamis.

Castro mengingatkan, jika DPR dan pemerintah menolak meninjau UU Pemilu, sama saja dengan tidak menaati konstitusi.

(thr/tsa)



Exit mobile version