Pahlawan nasional adalah gelar yang diberikan oleh pemerintah Indonesia kepada warga negara yang telah melakukan tindakan kepahlawanan dan memberikan kontribusi besar bagi bangsa dan negara selama hidupnya. Tindakan ini nyata dan dapat ditiru oleh masyarakat setiap saat. Gelar ini merupakan gelar anumerta, yaitu gelar atau penghargaan peringkat tertinggi yang diberikan setelah seseorang meninggal dunia.
Kriteria seleksi yang ditetapkan oleh Kementerian Sosial RI adalah Warga Negara Indonesia yang sepanjang hidupnya telah melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan di bidang lain untuk mencapai kemerdekaan, melahirkan pemikiran-pemikiran besar yang mendukung pembangunan bangsa dan negara, menghasilkan karya-karya besar. yang bermanfaat bagi masyarakat luas, bertahan hampir sepanjang hayat, jangkauan luas dan berdampak nasional, semangat nasionalisme yang konsisten dan tinggi, akhlak dan moral yang tinggi, pantang menyerah dan tidak pernah melakukan perbuatan yang memalukan dalam hidup.
Pahlawan Dari Madura
Madura, sebuah pulau yang terletak di timur laut Jawa Timur. Suku Madura merupakan salah satu suku bangsa dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia yang berjumlah sekitar 7 juta jiwa yang berasal dari Pulau Madura dan pulau-pulau sekitarnya. Madura pernah menjadi negara boneka bentukan Belanda pada masa Republik Indonesia Serikat. Artinya Madura juga tidak luput dari sejarah perjuangan kemerdekaan, namun sampai saat ini hanya ada dua pahlawan nasional yang diakui dari Madura. Nama-nama pahlawan nasional yang berasal dari Madura antara lain :
1. Pangeran Trunojoyo
Pahlawan nasional asal Madura ini lahir di Sampang, tahun 1649 dengan nama kecil Raden Nila Prawata. Ia adalah cucu Pangeran Cakraningrat I, Raja Madura, keturunan Keraton Arosbaya Madura yang ditaklukkan Kerajaan Mataram. Ayahnya adalah putra ke-3 Cakraningrat bernama R. Demang Melayakusuma yang memimpin pemerintahan sehari-hari di Madura Barat. Semasa kecil, Pangeran Trunojoyo dididik dan dibesarkan di lingkungan Keraton Mataram yang dipimpin oleh putra Sultan Agung, Amangkurat I. Pada tahun 1656 terjadi pertikaian di Mataram yang dipicu oleh pemberontakan Pangeran Alit yang mengakibatkan hilangnya nyawa. Mereka adalah Pangeran Cakraningrat I dan R. Demang Melayakusuma, ayah Trunojoyo, yang diutus untuk menumpas pemberontakan.
Korban lainnya adalah Raden Ario Atmojonegoro (putra pertama Cakraningrat I), dan Putera Ario/Putera Alit (adik Amangkurat I). Pemberontakan terjadi karena pemerintahan Amangkurat keras dan bersekutu dengan VOC. Madura kemudian dipimpin oleh Raden Undagan, paman Trunojoyo yang bergelar Panembahan Cakraningrat II. Namun, ia juga lebih banyak berada di Mataram daripada di Madura seperti ayahnya. Putra Mahkota Amangkurat I yang bernama Adipati Anom juga memendam ketidakpuasan terhadap ayahnya, namun tidak berani memberontak secara terang-terangan.
Ia meminta bantuan Raden Kajoran/Panembahan Rama, kerabat Mataram dan seorang ulama, yang merupakan mertua Trunojoyo. Pada tahun 1974 Trunojoyo berhasil merebut kekuasaan di Madura dan menyatakan dirinya sebagai raja Madura Barat yang merdeka, sejajar dengan penguasa Mataram. Rakyat mendukungnya karena Cakraningrat dianggap mengabaikan pemerintah. Trunojoyo juga mendapat dukungan dari Panembahan Giri, Surabaya, dan Karaeng Galesong, pemimpin separatis pendukung Sultan Hasanuddin dari Makassar. Mereka berhasil menekan pasukan Amangkurat I, namun kemudian timbul perselisihan dengan Adipati Anom karena Trunojoyo tidak mau melepaskan kepemimpinannya dan berhasil mengalahkan pasukan Adipati pada tahun 1676.
Kemudian ia menyerang Plered, ibu kota Mataram dan berhasil menghalau Amangkurat I ke Wonoyoso dan meninggal di Tegal. Trunojoyo kemudian mendirikan pemerintahannya sendiri dengan gelar Panembahan Maduretno. Adipati Anom yang diangkat sebagai Amangkurat II bersama VOC sepakat untuk melawan Trunojoyo melalui Perjanjian Jepara (September 1677). VOC yang memusatkan kekuatannya dengan Mataram akhirnya berhasil membelokkan Trunojoyo dan menguasai bentengnya. Amangkurat II menghukum mati Trunojoyo pada 2 Januari 1680. Sejak saat itu VOC berhasil menancapkan cakarnya di Mataram dan Madura. Mataram kemudian terpecah dalam sejarah perjanjian Giyanti. Ketahui juga nama-nama pahlawan nasional dari Jawa Tengah, pahlawan nasional dari Jawa Timur, dan pahlawan nasional dari Jawa.
2.Abdul Halim Perdana Kusuma
Setelah selesai menjadi calon Mantri di kantor Kabupaten Probolinggo, kemudian diperintahkan oleh Bupati untuk mengikuti pendidikan Perwira Angkatan Laut Belanda di Surabaya. Dari sini ia mengikuti pendidikan di Royal Canadian Air Force jurusan Navigasi. Ia dijuluki The Black Mascot karena dalam setiap pertempuran yang diikutinya, semua kru berhasil pulang dengan selamat. Setelah bertugas di Eropa, ia kembali ke Indonesia untuk membantu membangun kekuatan TNI AU sebagai instruktur penerbangan dan instruktur navigasi, meski dengan fasilitas dan peralatan yang terbatas. Selain itu, ia juga kerap diberi berbagai tugas penting seperti terlibat dalam pendirian pangkalan TNI AU sebagai Perwira Operasi berpangkat Komodor Udara.
Dia menyiapkan serangan ke kota-kota yang diduduki Belanda seperti Ambarawa, Salatiga, Semarang dan kota-kota lainnya. bersama teman-teman lainnya seperti Agustinus Adisucipto, Abdulrachman Saleh dan Iswahyudi kemudian memperbaiki pesawat tua Jepang tersebut agar dapat digunakan kembali. Sayangnya dia meninggal saat pesawatnya jatuh di Pantai Tanjung Hantu, Perak, Malaysia. Ia diangkat anumerta sebagai Laksamana Udara (Marsekal Udara), dan diangkat sebagai pahlawan nasional pada tahun 1975. Juga mengenal nama-nama pahlawan nasional dari Sumatera, pahlawan nasional dari Jakarta, dan sejarah pahlawan nasional dari Yogyakarta.
Pahlawan Nasional lain dari Madura
Beberapa tokoh Madura yang berjasa dalam perjuangan kemerdekaan dari penjajahan Belanda dan para ulama antara lain:
- Sunan Cendana – Beliau adalah putra dari Sunan Ampel dan keturunan ke-25 dari Nabi Muhammad SAW. Julukan Cendana diperolehnya ketika dia bermeditasi di atas pohon cendana.
- Nyai Cendana – Juga dikenal sebagai Ratu Cendana, dia adalah istri pertama Sunan Cendana, bernama Nyai Selase. Mereka memiliki seorang putra bernama Kiai Putromenggolo yang menjadi waiyullah besar pada masanya di Madura Barat.
- Kiai Angabei Mangundireja – Beliau adalah Patih Panembahan Natakusuma I atau Panembahan Sumolo, penguasa Sumenep. Dia memimpin upaya mengusir tentara Inggris yang mendarat di Pantai Saroka pada tahun 1810. Dia meninggal bersama putranya di Loji untuk mempertahankan tanah Songennep.
- Ahmad Basyir – Pejuang kemerdekaan yang pernah tergabung dalam barisan Sabilillah untuk melawan penjajah Belanda.
- Kiai Abdullah Sajjad – Beliau adalah putra dari Kiai Moh. Syarqawi dan saudara Kiai Moh. Ilyas. Ia meninggal dalam keadaan sujud, ditembak oleh Belanda.
Minimnya pejuang yang mendapat gelar pahlawan nasional dari Madura sebenarnya sangat disayangkan, karena dengan sejarahnya yang panjang, Madura pasti memiliki banyak tokoh yang sangat berjasa dalam perjuangan kemerdekaan. Ketiadaan pahlawan nasional juga akan membuat generasi muda yang kini hidup nyaman menjadi cuek dan tidak bisa menghargai kerja keras dan pengorbanannya untuk mencapai berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia.