Sejarah Perjanjian Renville dibuat antara Indonesia dan Belanda pada tanggal 17 Januari 1948 di geladak kapal perang Amerika Serikat USS Renville yang dijadikan sebagai lokasi netral. Kapal berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Perundingan dimulai pada 8 Desember 1947 dengan mediasi Komisi Trilateral (KTN), Komite Jasa Baik untuk Indonesia yang terdiri dari Amerika Serikat, Belgia, dan Australia. Perjanjian Renville diadakan untuk menyelesaikan perselisihan tersebut setelah perjanjian Linggajati tahun 1946, yang berisi tentang perbatasan antara Indonesia dan Belanda yang disebut Jalur van Mook.
Pada tanggal 1 Agustus 1947, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia. Pada tanggal 5 Agustus, Gubernur Jenderal Belanda Van Mook memerintahkan gencatan senjata. Kemudian pada 25 Agustus, DK PBB kembali mengeluarkan resolusi atas usul AS agar DK PBB menyelesaikan konflik antara Indonesia dan Belanda secara damai dengan membentuk KTN. Pada 29 Agustus, Belanda mengumumkan rute Van Mook yang akan membagi wilayah Indonesia dan Belanda. Wilayah negara Republik Indonesia hanya sepertiga dari pulau Jawa dan sebagian besar pulau di Sumatera tetapi tidak mendapatkan daerah penghasil pangan utama. Belanda juga menerapkan pembatasan untuk mencegah masuknya senjata, makanan, dan pakaian ke wilayah Indonesia.
Isi Perjanjian Renville
Situasi panas antara Indonesia dan Belanda setelah Belanda melanggar perjanjian Linggajati menjadi latar belakang perjanjian Renville. Akibat serbuan tentara Belanda 1 yang dilakukan untuk mengingkari tujuan perjanjian Linggajati telah menimbulkan kemarahan Indonesia dan dunia luar termasuk sekutu Belanda, AS dan Inggris. Australia dan India kemudian mengusulkan pembahasan situasi di Indonesia pada pertemuan Dewan Keamanan PBB. Kemudian pada tanggal 1 Agustus 1947, Dewan Keamanan PBB menyerukan gencatan senjata.
Walaupun pemerintah Indonesia dan Belanda telah bersepakat pada tanggal 17 Agustus 1947 untuk mengakhiri gencatan senjata sebelum perundingan Renville, pertempuran tetap terjadi antara tentara Belanda dengan pasukan paramiliter non-TNI, dan terkadang juga melibatkan pasukan TNI, seperti di Insiden Karawang dan Bekasi. Isi perjanjian Renville adalah:
- Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta dan Sumatera sebagai wilayah Republik Indonesia.
- Garis demarkasi disepakati untuk memisahkan wilayah Indonesia dan bagian Belanda yang diduduki.
- TNI harus mundur dari basisnya di wilayah pendudukan Jawa Barat dan Jawa Timur.
Makna Perundingan Renville Bagi Rakyat Indonesia
Delegasi Indonesia dalam perundingan tersebut diwakili oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin Harahap dan wakilnya Dr. Johannes Leimena, Ali Sastroamijoyo, H.Agus Salim, Dr. Coatik Len, dan Nasrun. Sedangkan pemerintah Belanda dipimpin oleh Kolonel KNIL Abdulkadir Widjojoatmodjo, Mr. HAL Van Vredenburg, Dr. PJ Koets, dan Mr. dr. Chr. Soumokil. Sedangkan AS bertindak sebagai penengah sebagai anggota PBB dipimpin oleh Frank Porter Graham, Paul van Zeeland dan Richard Kirby. Perundingan Renville telah membawa berbagai akibat bagi kehidupan bangsa Indonesia, dan makna perjanjian Renville terjadi dalam situasi berikut ini.
1. Indonesia bukan lagi negara kesatuan
Makna perjanjian Renville bagi Indonesia adalah bentuk negara harus berubah menjadi serikat pekerja. Walaupun pada awalnya Indonesia memproklamirkan diri sebagai negara kesatuan dengan Presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, namun karena isi perundingan tersebut, Indonesia terpecah dan terbagi menjadi beberapa negara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). RIS). RIS merupakan bagian dari Negara Persemakmuran Belanda, dan perubahan bentuk pemerintahan ini merupakan syarat yang diajukan Belanda untuk mengakui kedaulatan Indonesia. Namun hal ini berarti Indonesia belum sepenuhnya berdaulat karena masih berada di bawah kekuasaan kerajaan Belanda.
2. Perubahan sistem pemerintahan dan konstitusi
Tidak hanya bentuk negara yang berubah, makna perjanjian Renville juga memaksa Indonesia mengubah berbagai sistem pemerintahan dan ketatanegaraan. Sistem presidensial yang dianut sebelumnya harus diubah menjadi sistem parlementer, artinya presiden hanya sebagai kepala negara dan bukan lagi sebagai kepala pemerintahan. Seorang perdana menteri memimpin pemerintahan dalam sistem parlementer. Maka Soekarno terpilih kembali sebagai Presiden dan Amir Syarifuddin sebagai Perdana Menteri. Amir Syarifuddin sebelumnya memimpin kabinet transisi setelah kegagalan kabinet Syahrir yang terjadi pasca perjanjian Linggarjati. Setelah itu, kabinet Amir Syarifuddin II dibentuk.
3. Rakyat bereaksi keras terhadap pergantian kabinet
Kabinet yang baru terbentuk dianggap memiliki kebijakan yang pro Belanda dan membebani rakyat sehingga banyak partai politik yang memprotes kebijakan pemerintahan baru tersebut. Mereka bahkan menarik wakilnya dari kabinet. Orang mengira Amir Syarifuddin telah menjual Indonesia kepada Belanda. Akhirnya kabinet tidak bertahan lama dan dibubarkan. Amanat tersebut diserahkan kembali kepada Presiden oleh Amir Syarifuddin pada tanggal 23 Januari 1948.
4. Mengurangi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tujuan dari perjanjian Renville adalah untuk semakin memperkecil wilayah kekuasaan pemerintah Indonesia, lebih kecil dari yang telah disepakati sebelumnya dalam perjanjian Linggarjati. Ini adalah contoh buruknya perjanjian Linggarjati. Jika sebelumnya wilayah Indonesia meliputi pulau Jawa, Sumatera dan Madura, setelah Renville direduksi menjadi sebagian Sumatera, Jawa Tengah dan Madura. Indonesia harus melepaskan wilayah yang diduduki Belanda dalam invasi militer Belanda yang pertama.
5. Belanda memblokir ekonomi Indonesia
Arti perjanjian Renville membawa kesulitan baru bagi rakyat Indonesia karena Belanda menahan keadaan ekonomi. Pendudukan Belanda di Jawa Barat, misalnya, sangat mempengaruhi kegiatan perekonomian Indonesia. Selain itu, Belanda menekan sektor ekonomi sehingga para pejuang sulit melawan dan menyerah kepada mereka. Keadaan ini diperparah karena Indonesia masih berada di bawah kekuasaan Belanda pada masa peralihan ke RIS. Di Jawa kekuatan Indonesia menyusut hampir sepertiganya dan di Sumatera banyak daerah pertanian yang paling subur direbut Belanda sehingga pemerintah Indonesia kekurangan hasil panen padi hingga puluhan kwintal yang tercantum dalam nota PBB nomor S/649.
6. Kekuatan militer Indonesia semakin lemah
Lemahnya kekuatan militer Indonesia merupakan makna lain dari perjanjian Renville yang sangat merugikan. Indonesia harus menarik pasukannya dari wilayah yang menjadi bagian Belanda, dan dari wilayah yang dihuni warga sipil. Namun, pasukan Indonesia tidak menyerah begitu saja dan melakukan perang gerilya secara diam-diam. Pada bulan Februari 1948, Divisi Siliwangi pindah ke Jawa Tengah dan disebut Tentara Hijrah oleh masyarakat Yogyakarta. Perjalanan mereka dikenal dengan Long March of Siliwangi, sebuah perjalanan yang panjang dan melelahkan bagi prajurit Siliwangi.
7. Terbentuknya negara boneka
Tujuan perjanjian Renville adalah untuk berhasil membagi wilayah Indonesia yang dulunya merupakan negara kesatuan. Belanda membentuk Negara Persemakmuran dengan nama BFO atau Bijeenkomst voor Federal Overlag. Beberapa anggotanya adalah Negara Madura, Negara Kalimantan Barat, Negara Sumatera Timur dan Negara Jawa Timur. Mereka juga lebih menyukai Belanda daripada Indonesia, karena itulah julukan negara boneka Belanda.
Makna perjanjian Renville sejauh ini tercatat sebagai perjanjian yang paling tidak menguntungkan bagi Indonesia. Ekonomi yang semakin kritis, tumbangnya kabinet Sjahrir, serta pemberontakan Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo terjadi pasca kesepakatan. Kartoswiryo dan timnya menolak hasil musyawarah dan menolak meninggalkan Jawa Barat yang sudah menjadi wilayah kekuasaan Belanda dan mendirikan DI/TII sebagai negara baru yang berideologi Islam. Belanda bahkan masih mengingkari perjanjian dengan penyerbuan tentara Belanda 2. Berbagai perundingan masih dilakukan untuk Indonesia sebelum benar-benar memperoleh kedaulatan sebagai negara merdeka sepenuhnya.