Indonesia telah resmi terdaftar di organisasi pimpinan China-Rusia tersebut BRIK (singkatan dari Brazil, Russia, India, China dan South Africa) minggu ini.
RI telah menyatakan niatnya untuk bergabung dengan BRICS pada konferensi tingkat tinggi forum ini pada 22-24 di Kazan, Rusia.
“Pengumuman ini menandai dimulainya proses Indonesia menjadi anggota BRICS,” kata Kementerian Luar Negeri RI, Kamis (24/10).
Bergabung dengan BRICS dapat menjadi langkah progresif bagi Indonesia. Namun, negara ini juga perlu sangat berhati-hati dalam menyikapi perilaku Amerika Serikat dan sekutunya di masa depan.
Lantas, apa kelebihan dan kekurangan Indonesia jika bergabung dengan BRICS, dan bagaimana sikap AS?
Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Indonesia Yon Machmudi menilai langkah Indonesia mendaftar BRICS merupakan langkah positif.
“Untuk mempererat hubungan dengan negara-negara yang terus berkembang secara ekonomi,” kata Yon saat dihubungi CNNIndonesia.comJumat (25/10).
Selama ini, kata Yon, Indonesia lebih banyak berinteraksi dengan negara-negara Barat termasuk Amerika Serikat dan Eropa.
Padahal, secara geografis Indonesia lebih mirip dengan negara-negara di kawasan selatan yang biasa disebut dengan Global South.
Jika resmi bergabung, Yon yakin Indonesia akan terhindar dari isolasi negara-negara Selatan.
“Salah satu manfaat yang bisa diambil adalah Indonesia tidak terlalu terisolasi dengan keadaan geografisnya. Seperti Filipina yang cenderung pro Amerika, ini yang jadi masalah,” ujarnya.
Guru Besar HI UI ini juga meyakini Indonesia akan memiliki daya tawar lebih besar di mata dunia.
Negara-negara Barat seringkali mengecualikan negara-negara dengan perekonomian berkembang dan negara-negara dari kawasan selatan.
“Saya kira semangat Global South akan menjadi kekuatan baru untuk membangun solidaritas dengan negara-negara yang tergabung dalam BRICS,” kata Yon.
Pengamat hubungan internasional Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah, juga berpendapat serupa.
Bahkan, kata dia, Indonesia akan lebih kuat di organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
“Akan ada dukungan psikologis jika Indonesia mempunyai inisiatif untuk mereformasi PBB,” kata Rezasyah.
Sepanjang tahun lalu, Indonesia kerap mengkritik Dewan Keamanan PBB karena gagal menjaga perdamaian dan stabilitas pasca agresi Israel di Palestina.
Tak hanya menonjol di PBB, Rezasyah berpandangan jika bergabung dengan BRICS, Indonesia akan lebih mudah menjalin kerja sama dengan negara lain.
“Percepatan pengisian unsur-unsur kerja sama strategis yang sempat tertunda,” ujarnya.
Kerja sama strategis yang ditunda antara lain kerja sama di bidang luar angkasa (aerospace) antara Indonesia dan China-Rusia.
Di sisi lain, pengamat IR dari Universitas Indonesia Sya’roni Rofii menguraikan “keunggulan” Indonesia dari sisi ekonomi.
Apalagi ketika organisasi ini didirikan, para startup mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat, ujarnya.
Sya’roni kemudian mengatakan, “Keunggulannya pasti akses investasi dan pasar.”
Lanjutkan ke berikutnya…
Negara-negara pendiri BRICS terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan. Kelima negara ini mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan.
Saat ini BRICS mempunyai 10 negara anggota. Selain penggagas, negara anggota BRICS lainnya adalah Mesir, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Ethiopia, dan Iran.
Melanggar politik bebas dan aktif?
Bergabungnya organisasi ini bisa memicu spekulasi keberpihakan Indonesia dengan China dan Rusia sebagai penggagas BRICS. Kedua negara kerap berselisih dengan Amerika Serikat dan sekutunya.
Menghindari pandangan tersebut, Menteri Luar Negeri RI Sugiono menegaskan keinginannya untuk bergabung dengan BRICS sejalan dengan kebijakan politik Indonesia yang mandiri.
“[Ini] merupakan perwujudan politik luar negeri yang mandiri dan aktif. “Bukan berarti kita ikut kubu tertentu,” ujarnya dalam keterangan resmi.
Indonesia, lanjut Sugiono, berusaha aktif di semua forum ekonomi internasional.
Yon juga melihat langkah Indonesia bergabung dengan BRICS sebagai langkah penyeimbang, bukan untuk membangun koalisi atau blok tertentu.
“Tetapi ini lebih tentang menyeimbangkan kekuatan ekonomi kita untuk bergabung dengan BRICS,” ujarnya.
Langkah Indonesia bergabung dengan BRICS, lanjut Yon, juga bukan untuk terlibat dalam permusuhan atau persaingan global.
Ia sependapat dengan Menteri Luar Negeri Sugiono bahwa keputusan Indonesia bergabung dengan organisasi yang mayoritas anggotanya berasal dari negara berkembang tersebut merupakan upaya untuk “menjaga politik yang bebas dan aktif”.
Yon dan Sya’roni juga menilai AS akan memahami keputusan Indonesia karena sikap politiknya yang independen dan aktif.
RI akan kalah?
Dari sederet manfaat yang didapat Indonesia, para pengamat juga mencermati dampak negatif bergabungnya BRICS.
Dampak negatifnya terkait dengan pandangan dan interaksi negara-negara Barat.
Hubungan AS dan Rusia memanas sejak Presiden Vladimir Putin melancarkan invasi ke Ukraina. Kedua negara ini terlibat dalam embargo dan embargo bersama.
Kemudian hubungan Paman Sam dengan Negeri Tirai Bambu kerap berkobar karena berbagai permasalahan, terutama Taiwan dan Laut Cina Selatan.
Persaingan AS-Rusia dan AS-Tiongkok semakin meningkat selama invasi Israel ke Palestina dan Lebanon.
Yon berpandangan, jika Indonesia resmi menjadi anggota BRICS, “pasti akan berdampak pada hubungan dengan AS.”
Ia kemudian menyatakan, selama Indonesia bisa menjaga jarak dengan China dan Rusia sebagai pemrakarsa BRICS, maka dampak negatifnya akan berkurang.
“Kalau Indonesia terlalu dekat dengan China [akan ada dampak]. Jadi, banyak aturan yang diterapkan Amerika terhadap Indonesia, kata Yon.
Peraturan tersebut, lanjutnya, bisa dalam bidang perdagangan atau aspek lain seperti pembatasan pembelian senjata.
Langkah lebih lanjut, kata Yon, bisa berujung pada embargo senjata dari AS.
Namun Indonesia bisa terhindar dari sanksi jika menjaga hubungan baik dengan semua pihak.
“Jika Indonesia dapat menjaga keseimbangan komunikasi dengan kedua belah pihak dengan baik, maka potensi pembatasan atau sanksi dapat dihindari,” kata Yon.
Dari segi persenjataan, Indonesia juga tidak mau menerima embargo dari Amerika Serikat. RI masih bergantung pada negara Barat sebagai importir senjata.