Site icon Pahami

Berita Tajikistan Larang Hijab, Pernah Ubah Masjid hingga AS Blacklist Brunei


Jakarta, Pahami.id

Parlemen Tajikistan minggu lalu mengesahkan undang-undang yang melarang penggunaan jilbab dan rancangan undang-undang tentang “tradisi dan perayaan”.

Kabar lainnya, pemerintah Tajikistan juga memaksa hampir 2 ribu masjid ditutup dan dijadikan bioskop dan kafe selama tiga dekade Presiden Emomali Rahmon berkuasa.


Ada pula kabar Amerika Serikat memasukkan Brunei Darussalam ke dalam daftar hitam negara dengan kasus perdagangan manusia.

Berikut berita 24 jam terakhir yang dirangkum dalam International Flash pagi ini:

Tajikistan yang Mayoritas Muslim Mengesahkan Undang-Undang yang Melarang Hijab

Tajikistan mengeluarkan undang-undang yang melarang penggunaan jilbab minggu lalu.

Parlemen negara mayoritas Muslim tersebut mengadopsi rancangan undang-undang tentang “tradisi dan perayaan”.

RUU tersebut melarang penggunaan, impor, penjualan dan pemasaran “pakaian asing dalam budaya Tajikistan”. Mayoritas pejabat dan masyarakat menggambarkan larangan tersebut ditujukan pada perempuan Muslim biasa.

RUU tersebut juga memuat sanksi administratif dan denda bagi pelanggar.

Tajikistan Pernah ‘Digusur’ Hampir 2 Ribu Masjid, Dialihfungsikan Bioskop dan Kafe

Tajikistan menutup paksa hampir 2.000 masjid di negara mayoritas Muslim pada tahun 2017.

Tajikistan menutup 1.938 masjid sepanjang tahun dan menggantinya dengan kafe, bioskop, kedai teh, dan bahkan pusat kesehatan seperti klinik.

Tajikistan menutup 1.938 masjid sepanjang tahun dan menggantinya dengan kafe, bioskop, kedai teh, dan bahkan pusat kesehatan seperti klinik.

AS Masukkan Brunei Darussalam ke dalam Daftar Hitam Perdagangan Manusia

Amerika Serikat (AS) memasukkan Brunei Darussalam ke dalam daftar hitam kasus perdagangan manusia.

Dalam laporan tahunan Departemen Luar Negeri AS, Brunei dan Sudan telah masuk daftar hitam sebagai “level 3.” Kedua negara ini dinilai belum mengambil langkah signifikan terhadap kasus perdagangan manusia.

Departemen Luar Negeri AS juga menilai Brunei belum menghukum pelaku perdagangan manusia selama tujuh tahun berturut-turut. Pemerintah negara Asia Tenggara ini sebenarnya telah mengadili dan memulangkan beberapa korban yang membutuhkan pertolongan terkait kasus ini.

(tim/bac)


Exit mobile version