Site icon Pahami

Berita Seruan Larang Gas Air Mata Sempat Menggema di AS, Kenapa?


Jakarta, Pahami.id

Gas air mata menjadi perbincangan di kalangan netizen Indonesia setelah polisi meluncurkan bahan kimia tersebut ke pengunjuk rasa di beberapa daerah.

Demonstrasi tersebut merupakan bagian dari gerakan siaga darurat yang viral di media sosial. Warga ramai ingin memantau putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat Pilkada setelah nyaris diabaikan DPR.

Penggunaan gas air mata oleh polisi di Indonesia memicu kemarahan masyarakat dan seruan kepada pejabat untuk berhenti menggunakan kekerasan. Kemarahan yang sama juga terjadi di Amerika Serikat.


Pada tahun 2020, AS berada dalam kekacauan setelah kematian George Floyd. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, ia mendapat perlakuan kekerasan dari polisi yang menangkapnya, Derek Chauvin.

Chauvin memborgolnya, menjatuhkannya ke aspal, dan mencekik serta menekuk leher pria itu.

Setelah itu, warga AS turun ke jalan menuntut keadilan atas kematian Floyd. Mereka juga menuntut perubahan sistemik untuk mengatasi rasisme di Negeri Paman Sam.

Namun gerakan Black Lives Matter yang terjadi di banyak kota di AS dibalas dengan gas air mata oleh polisi.

Setelah polisi menindak pengunjuk rasa, banyak orang Amerika yang marah dan menyerukan larangan penggunaan gas air mata untuk mengendalikan massa di dalam negeri.

organisasi komunitas pengendalian senjata di AS, Asosiasi Pengendalian Senjatajuga mengunjungi situs web mereka pada tahun 2020.

Mereka merilis artikel berjudul “Gas air mata dilarang dalam perang. Sudah waktunya dilarang untuk penggunaan rumah tangga.”

Asosiasi tersebut mengatakan penggunaan gas air mata secara sembarangan terhadap pengunjuk rasa adalah tidak bermoral meskipun hukum internasional mengizinkannya.

“Sudah saatnya Amerika melarang penggunaan gas air mata di dalam negeri,” kata mereka.

Konvensi Senjata Kimia (CWC) tahun 1993 melarang negara-negara menggunakan bahan kimia beracun dalam peperangan. AS meratifikasi perjanjian ini pada tahun 1997.

Konvensi tersebut mendefinisikan bahan kimia beracun sebagai “segala zat kimia, terlepas dari asal atau metode produksinya melalui proses kimia yang dapat menyebabkan kematian, cacat sementara, atau kerusakan permanen pada manusia atau hewan.”

Namun, perjanjian tersebut secara tegas memberikan pengecualian untuk penggunaan bahan kimia tertentu dalam negeri untuk pengendalian kerusuhan.

Bahan kimia ini merupakan zat yang dengan cepat menyebabkan iritasi sensorik atau melumpuhkan efek fisik pada manusia dan hilang segera setelah paparan berakhir.

“Gas air mata termasuk dalam kategori itu,” lanjut asosiasi pengendalian senjata.

Dalam sebuah opini yang diterbitkan di lembaga think tank Council on Foreign Relations (CFR), pakar hubungan internasional AS Jessica Moss mengatakan dinas militer dan lembaga penegak hukum di seluruh dunia mengklasifikasikan gas air mata sebagai istilah sehari-hari untuk berbagai senyawa kimia yang digunakan dalam pengendalian kerusuhan.

Penegakan hukum menganggap gas air mata sebagai senjata tidak mematikan.

Namun, Moss mengatakan paparan gas air mata dapat menyebabkan kebutaan, luka bakar, gagal napas, dan bahkan kematian.

Gas air mata juga bisa membunuh orang bila ditembakkan dari jarak dekat.

Beberapa anggota Partai Demokrat di Dewan Perwakilan Rakyat AS bahkan telah mengusulkan rancangan undang-undang yang melarang penggunaan senjata kimia oleh penegak hukum.

RUU tersebut berupaya untuk melarang petugas penegak hukum federal, negara bagian dan lokal menggunakan senjata kimia dalam melaksanakan tugas polisi. RUU tersebut juga mewajibkan lembaga penegak hukum untuk membuang senjata kimia yang diperoleh untuk tujuan tersebut.

RUU tersebut diajukan Partai Demokrat pada 15 Juni 2020. Namun produk hukum tersebut belum mendapat suara dan belum disahkan.

Meski belum sah, ketentuan dalam RUU tersebut bisa menjadi undang-undang jika dimasukkan dalam RUU lain, seperti dikutip dari situs Gov Track.

(isa/bac)



Exit mobile version