Site icon Pahami

Berita Sepatu Tua Paus Fransiskus dan Pesan untuk Mereka yang Terpinggirkan

Catatan: Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Tim Redaksi CNNIndonesia.com

Jakarta, Pahami.id

minggu ini, Paus Fransiskus tiba di Indonesia untuk menunaikan ibadah haji yang akan membawanya ke SingapuraTimor Leste, dan Papua Nugini.

Pentingnya perjalanan ini terletak pada sosok Paus yang mewakili komunitas Katolik dunia mengunjungi negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia tersebut.

Perjalanan ini juga merupakan misi sejalan dengan kunjungannya ke Abu Dhabi tahun lalu, ketika Paus Fransiskus menandatangani perjanjian persaudaraan dan kesetaraan dengan Imam Besar Abu Dhabi.


Selama berada di Indonesia, Paus Fransiskus menghadiri upacara antaragama, dan menekankan persaudaraan antaragama, sebuah konsep yang tertanam dalam ideologi Pancasila, namun diperkuat oleh tindakan simbolisnya.

Pesan Paus Fransiskus untuk mendukung kaum marginal

Keputusan Paus Fransiskus untuk memakai sepatu usang bukan sekadar pilihan praktis. Ini adalah tindakan simbolis yang disengaja, memperkuat pesan kerendahan hati dan kesopanan yang konsisten.

Penolakan terhadap kemewahan, seperti yang terlihat dalam perjalanannya dengan penerbangan komersial dan kendaraan biasa, menantang norma sosial bahwa kekuasaan dan status sering kali ditunjukkan melalui kekayaan.

Tindakan ini mencerminkan keinginannya untuk berhubungan dengan masyarakat yang terpinggirkan dan masyarakat biasa, dan memperkuat gagasan bahwa kepemimpinan sejati adalah tentang pelayanan, bukan kehebatan.

Pilihan untuk berpakaian sopan, terutama di negara dengan kesenjangan pendapatan yang signifikan seperti Indonesia, memberikan pesan yang kuat tentang dukungan gereja terhadap masyarakat miskin dan terpinggirkan.

Kritik Paus Fransiskus terhadap keseragaman dan kekuasaan menyentuh isu-isu yang lebih luas baik dalam politik maupun agama.

Dengan mengutuk keseragaman yang dipaksakan, Paus menyoroti bagaimana penerimaan suatu identitas atau ideologi dapat mengarah pada kekerasan dan penindasan. Penekanan Paus terhadap penghormatan terhadap keberagaman sangat berarti, terutama dalam konteks Indonesia sebagai negara yang terkenal dengan pluralismenya, namun pada saat yang sama kerap menghadapi ketegangan agama dan etnis.

Pesannya menantang sistem otoriter, di mana keberagaman seringkali ditekan demi keseragaman.

Tema penting lainnya dalam ajaran Paus Fransiskus adalah bahaya manipulasi iman. Ia memperingatkan risiko menggunakan agama untuk kepentingan politik atau pribadi, atau ketika agama digunakan untuk membenarkan tindakan yang memecah belah.

Meski retorika agama terkadang digunakan sebagai senjata untuk mengobarkan kebencian di dunia, pesan Paus Fransiskus adalah ajakan untuk kembali ke prinsip dasar iman.

Kritik ini mempunyai implikasi yang besar, terutama di kawasan seperti Asia Tenggara, di mana agama memainkan peran penting dalam politik.

Indonesia sebagai contoh dunia “Bhinneka Tunggal Ika”

Hubungan antara Paus dan Indonesia sangatlah kompleks dan kaya, dengan jalinan politik dan budaya yang dimulai sejak kemerdekaan negara tersebut pada tahun 1945.

Kunjungan Paus Fransiskus ini sangat penting karena terjadi 35 tahun setelah kunjungan terakhir Paus Yohanes Paulus II, saat Indonesia masih di bawah rezim Soeharto. Kunjungan ini menjadikan Indonesia sebagai contoh negara yang mampu mewujudkan kerukunan antar umat beragama tanpa konflik internal yang besar.

Meski mayoritas penduduknya beragama Islam, Indonesia merupakan negara Islam yang dilandasi toleransi beragama yang kuat.

Paus Fransiskus datang membawa pesan kesetaraan dan persatuan serta menegaskan agar Indonesia bisa menjadi contoh bagi dunia.

Namun kompleksitas negara ini tidak dapat diabaikan.

Dalam beberapa dekade terakhir di Indonesia, terdapat penggunaan undang-undang yang represif, yang berdampak pada proses demokrasi. Bahkan dua minggu lalu, terjadi protes terhadap upaya revisi UU Pemilu Provinsi, yang menyoroti permasalahan yang dihadapi demokrasi di Indonesia.

Meskipun Indonesia dianggap sebagai model toleransi beragama dan pluralisme, dinamika internalnya menceritakan kisah yang lebih kompleks.

Ketimpangan pendapatan dan kesulitan ekonomi sangat mencolok, dimana sebagian besar penduduk hidup dalam kemiskinan.

Pertumbuhan ekonomi yang dicapai dalam beberapa dekade terakhir belum dirasakan secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat. Daerah pedesaan dan kelompok marginal, khususnya, masih kesulitan mendapatkan akses terhadap layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan.

Ketimpangan ekonomi ini tidak hanya terbatas pada aspek material saja, namun juga mempunyai implikasi politik dan sosial yang mendalam.

Distribusi kekayaan dan sumber daya yang tidak merata telah memicu frustrasi di kalangan masyarakat miskin, yang melihat elit ekonomi dan politik mendapat manfaat dari kemajuan, padahal mereka masih tertinggal.

Protes terhadap revisi UU Pemilu dan meningkatnya ketegangan sosial menunjukkan bahwa Indonesia masih jauh dari bebas konflik internal.

Kunjungan Paus Fransiskus, dengan pesan kerendahan hati, kesetaraan dan persatuan, menyoroti kebutuhan mendesak untuk menghadapi masalah ini.

Penekanannya pada persaudaraan antaragama dan perlunya memberikan perhatian lebih terhadap masyarakat miskin dan terpinggirkan merupakan ajakan untuk merefleksikan kesenjangan yang melanda negara ini.

Dalam konteks ini, Indonesia berpeluang menjadi contoh dunia tidak hanya dalam hal toleransi beragama, namun juga komitmennya untuk mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi.

(vws)



Exit mobile version