Site icon Pahami

Berita Seberapa Konsisten Program Makan Bergizi Gratis Era Prabowo?


Jakarta, Pahami.id

Program makanan bergizi gratis (MBG) yang menjadi pilar utama Presiden Prabu Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka resmi mulai Senin (6/1) ini di 26 provinsi.

Pemerintah menjanjikan program pangan bergizi gratis dapat menjangkau 3 juta penerima manfaat pada Maret 2025 dan 15 juta penerima manfaat pada akhir tahun. Kepala Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi mengatakan, program MBG akan menyasar anak muda hingga pelajar SMA.

Presiden Prabowo sebelumnya menyatakan, sumber pangan program MBG akan menggunakan seluruh hasil panen petani dan nelayan. Program MBG diklaim mampu memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 1,5 hingga 2 persen.


Selain itu, Prabowo menegaskan, program MBG tidak hanya sekedar pemberian nutrisi kepada siswa sekolah, tetapi juga sebagai salah satu cara mengatasi masalah stunting yang masih menjadi masalah serius di Indonesia. Ia pun yakin program MBG bisa mengentaskan kemiskinan ekstrem.

Menunggu konsistensi

Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah menilai harapan tinggi tersebut dapat terwujud jika pemerintah menjamin program MBG terus berjalan secara konsisten. Dikatakannya, tujuan MBG untuk mengatasi masalah stagnasi dan kemiskinan ekstrem mungkin baru terlihat setelah program berjalan satu atau dua tahun.

“Pertama tentu dari sudut pandang keberlanjutan, selama kebijakan itu tetap berjalan, artinya tidak hanya berlaku setahun tapi sampai selesai,” kata Trubus. CNNIndonesia.comSenin (6/1).

“Misalnya stunting otomatis baru terlihat setelah satu sampai dua tahun. Lalu kemiskinan ekstrem juga sama, baru terlihat nanti. Jadi intinya keberlanjutan agar outputnya bisa diukur,” imbuhnya.

Pengamat kebijakan publik PH&H Public Policy Interest Group, Agus Pambagio, juga mengatakan makanan bergizi gratis dapat berkontribusi dalam mengurangi kasus stunting dan kemiskinan ekstrem.

Namun, kata dia, program ini dilaksanakan terlalu tergesa-gesa sehingga berpotensi menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari.

“Program ini memiliki niat baik untuk ketahanan pangan, anak-anak, hingga penyediaan sumber daya manusia yang handal menuju Indonesia Emas 2045,” kata Agus saat diwawancara.

Permasalahannya, menurut Agus, salah satunya adalah program MBG tidak memiliki kerangka hukum yang kuat dan hanya berdasarkan peraturan presiden. Ia menilai, program berskala nasional dengan anggaran jumbo ini perlu diatur dengan undang-undang.

“Ini program yang bagus tapi mengkhawatirkan, karena pertama dasar hukumnya tidak kuat, hanya perintah presiden, sedangkan banyak implementasinya yang perlu diatur,” ujarnya.

Ia menjelaskan landasan hukum sangat penting karena pemerintah pusat tidak sepenuhnya menanggung anggaran pangan bergizi gratis, malah meminta bantuan atau sumbangan dari pemerintah daerah.

Agus menilai tidak semua pemerintah daerah mempunyai kemampuan yang sama dalam menyediakan pangan bergizi gratis.

“Sejauh mana pemerintah daerah bisa membantu? yang mendasarinya undang-undangnya tidak kuat, hanya keputusan presiden. Sedangkan Mendagri belum melihat bagaimana pelaksanaan dan petunjuk teknisnya, ujarnya.

Perlu aturan yang jelas

Lanjut Agus, tanpa aturan yang jelas, masyarakat juga akan mempertanyakan pengawasan program MBG. Misalnya saja jika terjadi keracunan makanan atau reaksi alergi dari penerimanya.

Siapa yang akan bertanggung jawab dan bagaimana mekanisme penanganan kesehatan jika terjadi keracunan makanan?

“Bagaimana agar hal ini tidak menjadi masalah? Apakah ada program mitigasi yang sudah disiapkan oleh BGN atau KSP, bagaimana bentuknya,” tanyanya.

Trubus pun mengungkapkan keprihatinannya. Ia menilai tanpa regulasi yang kuat, program MBG memberikan ruang bagi siapapun untuk menyalahgunakan dana dan melakukan penipuan.

“Karena kalau tidak dilakukan pengawasan bertahap akan seperti dana desa yang terkesan mubazir kalau pengawasannya tidak ketat,” kata Trubus.

Oleh karena itu, ia mendesak pemerintah segera menyusun payung hukum dan petunjuk teknis rinci mengenai program MBG hingga tahap implementasi di lapangan.

“Kenapa tidak kita buat undang-undang saja, nanti ada peraturan pemerintah. Jadi artinya kalau ada yang melanggar di tengah jalan, sanksinya sudah jelas,” tutupnya.

(tfq/tsa)


Exit mobile version